Setelah hilangnya Lica di hari pertama kemah, gerak-gerik Lica selalu diawasi oleh Abra. Hingga di hari terakhir kemah, kemana pun Lica pergi Abra selalu mengikuti. Awalnya Lica risih bahkan sampai hari ketiga kemah ini, Lica masih risih.
Selalu ada tatapan mata dari para siswa-siswi yang berbeda. Tatapan itu seakan mengisyaratkan ketidaksukaan mereka terhadap Lica. Sebenernya Lica tidak mempermasalahkan hal itu namun, satu kekhawatirannya. Bagaimana jika keadaan ini diketahui oleh kekasihnya, Kevinandra?
"Kak Abra nggak usah ngikutin Lica terus, Lica cuma mau ke kamar mandi" ucap Lica sambil menghentikan langkahnya.
Abra pun ikut menghentikan langkah, jarak mereka saat ini sangat dekat. Membuat para siswi yang lewat, menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.
"Biar nggak hilang lagi" sudah puluhan kali jawaban itu didengar Lica.
Lica menghela napasnya sejenak, kenapa laki-laki yang awalnya tak sengaja bertemu kini menjadi se-posesif ini?
"Cuma ke kamar mandi kak, Lica hafal jalannya"
"Tetep aku temenin!"
Lica tak mau ribut lagi, Lica memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Tanpa sepengetahuan mereka ada seseorang yang mengikuti dan mendengar percakapan mereka. Orang itu mengeluarkan handphonenya lalu mengetikkan sesuatu di salah satu aplikasi handphonenya.
°°°
13.00 WIB, jadwal kepulangan peserta kemah Aikya sudah di depan mata. Para peserta tersenyum ceria, inilah waktu yang paling ditunggu sebagian dari peserta. Segala kegiatan yang dilakukan di perkemahan ini cukup menguras tenaga.
Para peserta sudah mulai berbaris melakukan upacara penutupan. Setelah upacara penutupan, dilanjutkan pembagian hadiah. Lica yang sedari tadi memfokuskan pandangannya ke Aluna, mengernyit bingung.
Seperti ada yang aneh pada Aluna. Waktu Lica ditemukan, Aluna memeluknya erat seperti biasa jika berpisah dengannya. Namun, setelah hari itu Aluna berubah. Aluna seperti menjauhi dirinya.
Tak mau berpikir yang tidak-tidak, Lica mundur beberapa langkah untuk ke barisan Aluna.
"Aluna" bisiknya.
Merasa ada yang memanggil, Aluna menolehkan pandangannya sambil mengangkat sebelah alis.
"Aluna marah ya sama Lica?"
Aluna terdiam sejenak, sepertinya dia terlalu terbawa skenario. Jika Lica menyadari skenarionya secepat ini, bisa kemungkinan akan hancur rencana berikutnya.
Aluna pun menggeleng, sambil merangkul Lica.
"Engga dong, lo kan nggak buat salah apa-apa" ucapnya gembira.
Lica mengangguk, ia bersyukur Aluna tidak marah. Tapi, kenapa bisa secepat itu perubahan ekspresi Aluna?
"Kok Aluna dari kemarin diem terus, kenapa?"
"Gue lagi ada masalah aja, terus badmood dehh"
"Ceritaaa, nggak baik tau mendem masalah sendirian" rengek Lica dengan sedikit omelan.
Aluna menggeleng "udah ketemu kok jalan keluarnya"
Lica menekuk wajahnya. Aluna yang melihat itu tertawa, lalu mencubit pipi Lica.
"Nggak usah marah gituu, ntar gue traktir bakso deket sekolah mau nggak?"
Seketika mata Lica berbinar, senyuman pun mengembang.
Dari barisan panitia, Abra mengamati setiap gerakan Lica dan sahabatnya sedari tadi. Entah kenapa, ada perasaan yang membuatnya tidak tenang jika Lica bersama sahabatnya sendiri.
'Kenapa gue ngerasa ada yang aneh sama sahabatnya?'
°°°
Setelah pembagian hadiah, berfoto, kini saatnya mereka memasuki bus sesuai pembagian saat berangkat kemarin. Aluna dan Lica sudah saling berpeluk ria, berpamitan seakan-akan mereka akan berpisah. Lica pun mulai memasuki bus dan duduk di tempat yang sama.
Tak hanya tempat yang diduduki Lica yang sama, partner duduk Lica juga masih orang yang sama. Lica melihatnya sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
Selama bus berjalan, setengah dari peserta ada yang tidur, bernyanyi, makan serta menjahili temannya sendiri. Berbeda dengan mereka, Lica terus mengecek handphone. Membaca ulang setiap kata di dalam nama kontak yang ia sematkan.
Rasanya benar-benar berbeda, melihat isi chatnya dulu, Lica tersenyum kecil. Namun, semakin seringnya bertukar kata, tanpa pernah disadari oleh Lica, kata yang ditukar perlahan menjadi singkat seakan tenggelam oleh sesuatu yang sedang menerjang mereka.
Setetes air mata berhasil turun mengenai tangannya. Dengan cepat Lica menghapus air mata itu, lalu dia mematikan handphone dan menutup mata sambil bersender di jendela bus. Abra yang sedari tadi memperhatikan Lica, meenolehkan kepala.
Tak ada pergerakan lagi dari orang di sebelahnya, Abra menghapus jejak air mata Lica. Ia tau apa yang sedari tadi dilakukan Lica bahkan ekspresi apa yang ditunjukkan Lica. Abra meletakkan pelan kepala Lica di pundaknya. Tangan Abra mengelus pelan kepala Lica, untuk menenangkannya.
"Walaupun aku bukan orang yang kamu sayang tapi, aku janji akan menjadi orang terakhir yang selalu membuat kamu tertawa tanpa mengenal kata duka" monolognya sambil mengelus tulus surai hitam Lica.