"pagi semuanya...." Gadis muda yang sudah rapi dengan seragam SMA dan tas ransel di pundaknya berjalan mendekati meja makan dengan riang, tempat kedua orangtuanya berkumpul dengan si mungil penghuni baru rumahnya.
"tumben manis, biasanya sok dingin," tatapan ketus dan nada sinis yang Jonnathan sengaja alamatkan kepada putrinya benar – benar tepat sasaran, ia bahkan tersenyum bangga saat wajah manis itu ditekuk dengan dengusan yang tentu sebuah umpatan Chizie tunjukan untuknya.
"sayang..." Tamara hanya bisa pasrah dengan wajah cantiknya tersenyum tak mengerti, ia masih belum paham kenapa suaminya senang sekali menggoda putri mereka di saat mood Chizie sedang baik seperti sekarang.
"kenapa? aku hanya berbicara kenyataan, babe. Kalau tidak dingin ya ketus, iya nggak putrinya daddy?"
Ucapan Jonnathan hanya dihadiahi dengusan dengan lidah yang menjulur kesal, Chizie bahkan memilih duduk di samping Tamara dengan pandangan yang langsung beralih pada hidangan dihadapan mereka, mengambil dua potong croissant dengan isian yang berbeda dan langsung menyantapnya.
tapi sesaat kemudian Chizie kembali tersenyum, memandang Tamara yang meletakan semangkuk kecil puding coklat ke hadapannya. "sudah jangan cemberut, nanti cantiknya putri mae hilang," ucap Tamara dibarengi dengan belaian lembut pada surai sang anak. "terima kasih maeee.... mae mamang yang terbaik." balas Chizie yang menggundang senyum Tamara.
"oh, sayang, apa kamu melihat oppa mu? Kenapa Archana jam segini belum bangun?" Chizie hanya menggedikan kedua bahunya, sejujurnya ia juga mencari sang kakak tapi pintu kamar Archana yang masih tertutup rapat membuatnya mengira jika pemuda itu belum bangun atau belum siap keluar.
"mungkin dia semalam bergadang bermain game seperti biasa." Jonnathan sangat tahu kebiasaan putra sulungnya itu meski sudah tak tinggal serumah lagi, kebiasaan Archana tidak pernah berubah dan akan selalu terlihat dengan mudah jika Archana merubah sikapnya secara tiba – tiba.
"benar – benar anak itu, sudah punya anak masih saja bersikap kekanakan," ucap Tamara diikuti gelengan pelan, masih tak habis pikir dengan sikap putranya yang tak mau berubah sejak SMA.
"biarkan saja, mae. Toh, Maraville oppa belum mengatakan apapun dan memberitahu semuanya pada Arcy oppa," timpal Chizie yang kembali menampakan senyum cerahnya, moodnya kembali ketika membicarakan kakak kesayangannya itu.
Dan pada akhirnya sosok yang sejak tadi mereka jadikan bahan pembicaraan datang dan ikut duduk bergabung, mencomot dua croissant tanpa isi dan menegak susu putih di sampingnya tanpa mengucapkan apapun, tak mempedulikan tatapan heran yang mereka tujukan kepadanya.
"oppa kenapa?" hanya gadis manis itu yang berani bertanya saat wajah sendu dengan mata bulat sembab itu menatapnya, menggeleng tak apa, seolah mengatakan sesuatu yang berlawanan dari ekspresinya.
"apa ada yang menggangu mu, Arcy?" andai si sulung duduk di sampingnya, mungkin Tamara sudah mengusap lembut surai yang masih berantakan itu, membelai pipi kemerahan dan mata sendu itu, Tamara tak bisa melihat Archana 'kacau' seperti ini.
"tidak apa, mae. Arcy hanya lelah," ucapnya dengan senyum, mencoba menampakan mentarinya meski mendung yang ia perlihatkan.
"kalau begitu kamu istirahat saja, sayang. Hari ini biar Cilo, mae yang urus, oke." Anggukan lesu tak berselera yang Archana perlihatkan sudah cukup menggambarkan mood pemuda 22 tahun itu.
"sudah daddy bilang untuk tidak bermain game sampai larut, Kesehatan mu itu lebih penting, sayang," Jonnathan yang biasanya senang bercanda dan menggoda kedua anaknya, terlihat berbeda jika sedang khawatir seperti ini. pria yang nyaris kepala lima itu berubah lembut dengan senyum penuh cemas terlihat di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Teddy Bear
Fanfictionwarning⚠⚠ Cerita Boys Love!!! homophobic please stay away🙏🙏 BAYI!?!?!?!? kedua pemuda itu saling bertatapan, dibuat tak percaya dengan pemandangan yang nampak di hadapan mereka. Sengaja diletakan di depan pintu apartement yang lebih tua, membuat y...