Diam menatap pintu dengan plakat angka 208 di depannya, terlihat ragu walau ini bukan pertama kalinya ia berada disana.
Meski tahu password dari pintunya, meski sidik jarinya sudah terdaftar sebagai salah satu penghuninya, meski tak masalah jika masuk tanpa permisi, namun ia tetap terdiam di sana tanpa melakukan apapun.
Mengingat alasan dibalik kenapa dirinya bisa berada di sini, di apartment yang sebenarnya sangat tidak ingin ia kunjungi lagi dalam waktu dekat.
Jika bukan karena mae-nya, jika bukan paksaan dari adiknya dan jika bukan karena ia yang dititipkan kedua orang tua pemuda itu, mungkin sekarang dia hanya akan diam di kamarnya dan terlelap, melihat waktu yang menunjukan nyaris tengah malam dan bukanlah waktu yang tepat untuk bertamu maupun berkunjung ke kediaman orang lain.
Beberapa kali ia menghela nafas mencoba mengurangi keraguannya namun tampaknya sedikit mustahil, rasa takut namun cemas terlihat di wajah manisnya. Takut jika ia akan melihat sesuatu yang menambah sakit hatinya, takut jika perasaannya kian kacau. Namun di sisi lain ia juga cemas jika benar apa yang kedua orang tuanya dan Chizie katakan terjadi, terlebih pemuda itu memanglah benar hanya sendiri di sana.
"aish, kenapa dengan ku? Sebaiknya aku memanggil Wooly atau Dandy hyung saja... tapi..." ia dibuat bimbang sendiri, tidak ingin merepotkan orang lain tapi juga tak ingin langsung bertemu membuat pikirannya jauh lebih membingungkan dari perasaannya sendiri, masih ragu meski sekantung obat sudah berada di tangannya.
"sudahlah, setidaknya dia teman mu, Arcy. Iya, setidaknya Maraville itu teman mu, lakukan yang terbaik, aku harus melakukan yang terbaik!" monolognya memberi semangat menghilangkan keraguannya.
Meletakan jemarinya di tempat sensor hingga suara 'klik' terdengar, Archana membuka gagang pintu berbahan stainless itu dengan perlahan - lahan. Ia menoleh dan memperhatikan berapa pasang sepatu yang berada di sana, menghitung hanya sepasang sneakers converse hitam membuatnya berjalan masuk, merasakan kesunyian yang begitu terasa di sana.
"apa ada orang? Hyung? Oiii...?" sedikit berteriak dengan langkahnya yang terus berjalan, berhenti tepat di depan kamar sahabatnya dan menghela nafas sebelum memutuskan untuk membukannya.
Kamar yang temarau dengan pencahayaan yang sepenuhnya mengandalkan bulan purnama di luar membuat hanya siluet yang terlihat, mencoba memperhatikan sebelum menyalakan lampu. Namun benar saja, ia bisa melihat seorang dibalik gundukan selimut di atas ranjang itu, terlihat tak nyaman dengan beberapa kali suara nafas tercekal terdengar.
Kembali melangkahkan kakinya dengan niat menyalakan lampu yang ia urungkan, manik coklatnya meneliti sebelum mendudukan dirinya di tepi ranjang dengan perlahan, melihat tubuh yang sepenuhnya tertutup selimut tebal dengan wajahnya yang mengintip dari celah.
"panas? Aish, kenapa bisa demam dan flu begini?" monolognya meletakan punggung tangannya di kening yang lebih tua, melihat hidung Maraville yang memerah dengan matanya yang sedikit bengkak seperti orang menangis.
"Chana?..." lirihan itu di dengar yang lebih muda, berdehem dengan tangannya yang merapikan surai hitam berkeringat itu.
"kenapa bisa sakit? Apa hyung terlalu memforsir tubuh hyung lagi?" pertanyaannya tak mendapat jawaban melainkan gengaman di tangan tan miliknya, menatapnya dengan sendu dan sedikit bibir melengkung kebawah ia berikan.
"Marvyyy..."
"baiklah Marvy..... sekarang jawab, kenapa kamu bisa sakit? Begadang lagi? Atau minum delapan gelas kopi espresso tanpa makan seharian lagi? Atau ada sesuatu yang membuat pikiran mu terlalu penuh?" tak hanya mengerti, tapi ia juga memahami kebiasaan – kebiasaan sahabatnya itu, sangat detail dan tepat jika bukan kali ini dirinyalahyang menjadi salah satu penyebabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Teddy Bear
Fanfictionwarning⚠⚠ Cerita Boys Love!!! homophobic please stay away🙏🙏 BAYI!?!?!?!? kedua pemuda itu saling bertatapan, dibuat tak percaya dengan pemandangan yang nampak di hadapan mereka. Sengaja diletakan di depan pintu apartement yang lebih tua, membuat y...