PROLOG

13.7K 772 29
                                    

"Swipe left, swipe left mulu, ih! Kapan swipe right-nya sih, Kasmirah?"

Seketika Mirah yang sudah pening masalah pria dan juga dating apps sialan ini bertambah pusing karena ocehan Rani. Refleks, dia meraih bantal terdekat, lalu melemparkannya pada sang sahabat yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.

"Anjir!" Rani tersentak. Matanya memelotot. Sambil menunjuk-nunjuk ponsel yang Mirah bawa, dia berkata, "Eh, gue udah bantuin lo kasih solusi cepat biar dapat gandengan sabtu nanti. Kenapa lo malah nggak tau terima kasih gini sih?"

Mirah mendengkus keras. Pernyataan Rani barusan sangatlah benar. Dating apps yang sedang Mirah tekuni ini adalah solusi cepat untuknya demi bebas selama beberapa bulan ke depan dari pertanyaan orang tua mengenai pasangan.

Namun, tetap saja, melihat aplikasi berisikan katalog pria-pria ini terasa aneh. Mirah, walaupun tidak suka bertemu orang apalagi pria, jauh lebih memilih untuk berkenalan langsung dengan orang di suatu keadaan. Pertemuan langsung sambil melihat satu sama lain cenderung lebih cepat menilai sifat dan kepribadian mereka.

Sementara aplikasi, walaupun pria-pria ini memamerkan foto-foto tampan mereka. Atau menuliskan hal-hal tak berguna dalam biodata profil mereka, tetap saja Mirah tak akan percaya. Kebanyakan kasus di luar sana, semakin banyak orang pamer di sosial media, maka keaslian hidup mereka 180 derajat berbeda dari yang dia pamerkan.

"Sori deh sori," ucap Mirah pada akhirnya. "Gue hanya belum menemukan orang yang oke aja di dating apps ini. Cause, Ran, I only swipe right for someone who makes my heart flutter for no reason."

Terdengar helaan napas panjang dari Rani. Tiba-tiba sahabatnya itu menepuk pundak Mirah sambil menatapnya penuh simpati.

"Lo ingat kan apa tujuan lo pamer gandengan sabtu nanti?" tanya Rani yang segera dibalas anggukan cepat Mirah.

"Gue butuh kelihatan punya pacar di depan ortu gue biar mereka berhenti tanya-tanya masalah pasangan. Dan tentu aja, biar ortu gue nggak cerewet dan ngedumel terus gara-gara gue kerjaannya cuma baca buku doang di dalam kamar," jelas Mirah. "Padahal mereka tau gue kan editor fiksi. Iyalah kerjaan gue baca novel mulu."

"They're just too afraid that you are too attached to the fictional character, Honey."

Pernyataan Rani membuat Mirah meringis. Sahabatnya lagi-lagi benar, gadis itu terlalu jatuh cinta pada tokoh-tokoh fiksi. Alasannya, karena sudah berkali-kali dikecewakan orang-orang nyata dan pada akhirnya tokoh-tokoh fiksi adalah obat dari sakit hatinya.

"Mir, saran gue biar cepet juga solusi pamer cowok ini jalan, kayaknya nggak usah nunggu perasaan berdebar lihat foto cowok di dating apps deh. Selama foto dia oke, biodata dia juga nggak lebay, swipe right aja. Lagian kan belum tentu match, jadi anggap aja kita memperbesar peluang untuk lo segera ketemu sama cowok yang bakal bantuin lo keluar dari kekacauan hidup. Oke?"

Untuk sesaat Mirah terdiam. Dia mencerna perkataan Rani. Sampai akhirnya, dia mengalah dan mengangguk.

"Kayaknya gue mau cari cowok thirty to thirty five aja deh ya," gumam Mirah seraya mengubah pengaturan pencarian dating apps. "Selama ini gue selalu dikhianati sama yang seumuran. Kakak gue pun juga dapat cowok babik yang seumuran. Mungkin juga yang mateng bisa lebih cepet iyain ketemuan karena udah ... desperate."

Rani mendengkus geli, sebelum kemudian mengangguk.

Baru saja Mirah mengiakan pengaturan baru pencarian dating apps, tiba-tiba jari jempolnya kaku tak bergerak menatap sebuah foto pria di sana. Jantung Mirah pun berdebar. Padahal itu hanya foto selfie seorang pria mengenakan topi putih dan juga polo putih. Senyum lebarnya tampak cemerlang. Pemandangan lapangan golf dan golden hour di belakangnya membuat pria itu terlihat sangat bercahaya.

Swipe Right Into Your Arms [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang