Chapter 16 : Can't See Anybody Else

3.3K 500 41
                                    

Bri tidak bisa menatap ke arah lain, hanya satu yang mencuri perhatiannya, Kasmirah. Air mata gadis itu terus meleleh, walau tidak ada isakan yang terdengar. Sedangkan kedua tangannya memeluk Aksara yang berdiri tepat di depannya.

Baru kali ini Bri tersenyum kecil melihat seorang wanita menangis. Hatinya juga menghangat, lebih tepatnya selalu ada kehangatan yang Kasmirah hadirkan dalam hidupnya akhir-akhir ini. Alasannya sekarang satu, seumur-umur ini adalah kali pertama orang asing sangat memedulikanya. Hanya terpeleset dan keseleo saja dia ditangisi seheboh ini.

"Istri Bapak lucu ya."

Suara dokter menarik perhatian Bri kembali ke dunia. Dia sedikit menunduk karena dokter sedang mengoleskan obat ke kaki Bri yang terluka. "Padahal cuma keseleo sama luka dikit, tapi nangisnya kayak Bapak udah mau kehilangan satu kaki."

Bri berdehem sejenak. Buru-buru dia harus mengklarifikasi hubungannya dengan Kasmirah. Tidak enak saja dengan gadis itu yang masih single, lalu tiba-tiba punya julukan baru sebagai istri kedua seorang duda beranak satu seperti dirinya.

"Dok, dia bukan ... Ah!"

Tanpa sadar Bri memekik. Matanya memelotot menatap dokter. Namun, dia tidak berkomentar karena sepertinya memang dokter sedang memeriksa lukanya.

"PAPI!"

Hanya saja teriakan Aksara sukses menyentak Bri. Dia menoleh dan kali ini fokusnya berusaha tercurah sepenuhnya pada sang putra.

"Aksara ...."

"Papi mau meninggal!"

Bri mengangah mendengar ucapan Aksara. Untungnya di sana sudah ada Kasmirah. Gadis itu langsung berlutut dan menenangkan Aksara yang masih terisak.

Tatapan Bri tercurah sepenuhnya pada sosok Kasmirah. Gadis itu berdiri sedikit jauh dari ranjang pasien. Kedua tangannya memeluk erat Aksara yang berdiri di depannya. Air mata Kasmirah terus meleleh dan samar-samar terdengar isakan lirih.

Baru kali ini Bri tersenyum kecil melihat seorang wanita menangis. Bukan itu saja hatinya juga menghangat. Seumur-umur baru kali ini ada orang asing yang memedulikanya seperti ini. Bahkan sampai menangisinya yang kakinya terkilir karena kepleset ketika cuci piring.

"Istrinya lucu ya, Pak." Tahu-tahu saja dokter bersuara. Ada nada geli saat berbicara. "Padahal cuma kekilir, tapi nangisnya kayak Bapak mau meninggal aja."

"Eh ... dia bukan–"

"Papi nggak akan meninggalkan?"

Tiba-tiba saja Aksara berteriak. Tak lama putranya itu terisak kencang. Bri seketika mengangah. Sebelum kemudian, dia tersenyum geli. Kepalanya geleng-geleng. Untungnya Kasmirah dengan cepat menenangkan.

"Aduh duh, Ibu anak ini lucu banget, Pak." Dokter tertawa pelan. "Bisa-bisanya nangis bareng. Seumur-umur baru kali ini saya lihat keluarga yang saling mengasihani. Manis banget, Pak. Langgeng-langgeng terus ya."

Pada akhirnya, Bri hanya mengangguk. Mau klarifikasi gagal. Jadi, sudahlah dia juga mulai sedikit kesakitan karena ada luka robek besar di kakinya.

Begitu selesai mengobati, dokter segera memanggil Kasmirah dan Aksara untuk mendekat. Mereka berdiri dengan kompak dan mata sembab di dekat dokter.

"Semuanya baik-baik aja, Bu," terang Dokter. "Ini cuma memar sama luka. Lukanya agak panjang kayaknya kegesek benda tajam waktu jatuh, tapi nggak dalam dan nggak harus sampai dijahit. Nanti saya resepkan obat oles untuk dipakai sama Bapak, tiga kali sehari setelah sudah bersih alias sudah mandi. Mungkin butuh satu atau hari untuk nggak banyak gerak karena takutnya bengkak. Jadi, tolong diperhatikan suaminya ya, Bu."

Swipe Right Into Your Arms [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang