Chapter 5 : Create a Scene

4.3K 569 50
                                    

"Kenapa aku harus membunuh Kasmirah?"

Pertanyaan itu sudah berkali-kali Bri gumamkan. Tatapannya menerawang, sementara otaknya terus berpikir keras. Sialnya, tidak ada satu pun ide yang muncul dalam kepala.

Seketika Bri mendengkus keras. Dia bukanlah penulis baru yang mudah sekali terkena writing block. Dia seorang penulis senior dengan sudah menerbitkan lima buku best seller yang terus cetak ulang hingga detik ini. Hanya saja, bertahun-tahun hiatus dan mendadak ganti genre membuat kerja otaknya mendadak macet.

Bri tidak menemukan alasan untuk membunuh Kasmirah atau tepatnya tokoh utama dalam ceritanya. Satu-satunya keinginan kuatnya hanya membunuh tanpa alasan. Sedangkan editornya menolak ide membunuh tanpa alasan karena semua kejahatan itu pasti ada penyebab atau pemicunya. Dan beberapa kejahatan pasti membentuk satu garis penghubung yang sama.

Sebenarnya ini logika dasar sebuah cerita dan Bri paham itu. Hanya saja memang tidak ada ide. Karena alasan dari perubahan genre ini bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena dia tak lagi memiliki alasan menulis kisah fantasi indah seperti dulu. Masa lalunya kini berubah suram selayaknya kisah yang ingin dia tuliskan.

Bunyi dentingan lonceng menarik perhatian Bri. Sontak dia mendongak. Senyum kecilnya muncul saat menemukan Kasmirah berada di ambang pintu. Pertemuan mereka kali ini berbeda, tidak ada lagi Kasmirah yang menunggu lebih dulu.

Meski begitu, pertemuan ini tetap spesial. Karena siang ini, Kasmirah muncul dengan pakaian yang sama seperti yang dia kenakan di hari pertama mereka bertemu; gaun selutut warna biru laut, rambut panjangnya yang tergerai dengan sedikit jepit rambut berbentuk bunga, tas kecil putihnya, dan terakhir tentu saja heels warna putih yang senada dengan warna tasnya.

Bukan itu saja, Bri juga mengenakan pakaian yang sama seperti sabtu lalu. Ada kemeja hitam berlengan pendek, celana jins, bahkan sepatu kerjanya sudah berganti dengan sneakers putih.

"Jadi, kenapa saya harus datang ke sini lagi dan berdandan seperti ini juga, Mas Brihaspati?"

Itu adalah kalimat pembukaan pertama yang Kasmirah tanyakan begitu duduk di seberang Bri. Nada suaranya tidak ramah. Bahkan bibir cemberutnya sangat terang-terangan sekali dia tunjukkan.

"Sejujurnya saya nggak rela buru-buru balik ke apartemen hanya buat ganti pakaian dan dandan ulang. Belum lagi kejebak macet dua kali lebih lama ke sini karena harus pakai mobil mengingat saya pakai gaun."

Senyum miring Bri terpasang. "Padahal kalau kamu pakai baju kayak gini kamu kelihatan ... manis," akunya. "Terus kenapa kamu setuju melakukan ini kalau sebenarnya ogah?"

"Karena kamu bilang ini buat riset novel barumu. Dan sebagai editor, aku udah janji buat bantuin kamu. So, here I am," ucap Kasmirah ketus.

Kali ini respons Bri hanyalah tawa geli tanpa suara. Pria itu segera mengeluarkan iPad dan pen khususnya. Sebagai penulis sekaligus pengusaha, agar tidak ribet membawa buku catatan fisik dan kadang dibuat pusing karena bolpoin yang sering mendadak hilang, maka menggunakan tablet pintar adalah solusi terbaik.

"Jadi, alasan kamu main dating apps kemarin itu karena lagi riset tulisan?" tanya Kasmirah yang langsung dibalas anggukan cepat Bri. "Terus kenapa kamu pilih saya? Dan apakah kamu ketemu orang lain juga?"

Bri menaruh stylus pen-nya, lalu mencurahkan fokusnya kembali pada Kasmirah. "Saya pilih kamu karena saya suka nama kamu, Kasmirah. Kedua, saya hanya ketemu kamu aja karena setelah pertemuan pertama kita, saya nggak sempet buat cari-cari orang lain. Lagian saya udah cukup sibuk buat kelarin sinopsis yang ternyata ... editor saya nggak suka."

Kasmirah mendengkus keras. "Nah, kamu bisa pakai alasan sesederhana nama yang sama, Mas Bri. Ambil contoh kamu punya isu dengan seorang wanita bernama Mira, maka setiap orang yang bernama Mira yang kamu temui di dating apps ingin kamu bunuh."

Swipe Right Into Your Arms [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang