Chapter 2 : Meet Point

4.8K 665 48
                                    

Hari senin ini, Mirah nobatkan menjadi hari paling sial yang pernah ada. Sejak pagi tadi, entah ke mana perginya dewi fortunanya. Padahal hari ini hari pertamanya masuk di kantor baru, bukannya hoki demi menaikan suasana hati, tapi ada saja kejadian bikin naik darah.

Semua berawal dari air apartemen Mirah tiba-tiba mati saat dia sedang keramas. Dia ingat, dia berteriak-teriak meminta bantuan Rani untuk mencari air apa saja demi menghilangkan sabun yang membuat matanya perih itu. Alhasil, dua botol 1.5 liter habis hanya untuk membantunya keramas.

Mirah kira bencana pagi itu berhenti setelah dia berhasil menangani masalah air, tapi tidak. Di tengah kemacetan bersama Rani, Ibunya menelepon. Topiknya masih sama, masalah pacar bohongan yang gagal itu.

"Minggu depan kamu ketemu sama anak kenalan Ibu ya, nduk. Nggak boleh nolak pakai alasan apa pun."

Mirah hanya bisa menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Daripada pernyataan, itu tentu saja perintah. Kali ini dan tentu saja berkat Brihaspati itu, gadis itu jadi kesusahan mencari alasan yang dapat orang tuanya percaya.

"Iya, Bu. Siap," jawab Mirah pasrah.

"Untung waktu di resto kemarin cuma ada Ibu sama Ayah, nggak ada mas apalagi keluarga besar. Bayangin kalau ada semua orang itu, mau taruh di mana muka Ibu sama Ayah punya anak cantik, tapi rela suruh orang buat jadi pacar bohongannya?" Ibu, Ajeng kembali mengungkit-ungkit masalah hari sabtu itu. "Kalau sampai kamu ketahuan bohong lagi, Mirah, Ibu rasa Ibu bakal bawa kamu pulang ke Solo. Bantuin itu Mas sama Mbakmu urus bisnis keluarga."

Dengan template yang sama, Mirah menjawab, "Iya, Bu, iya. Udah ya, Bu, ini Mirah udah sampai kantor. Dah!"

Setelahnya Mirah buru-buru menutup panggilan Ajeng, lalu menghela napas lega. Dalam hati dia juga minta maaf kepada ibunya karena berbohong mengenai kantornya yang masih lumayan jauh–tiga lampu merah lagi.

"Rani, gue deklarasikan sekali lagi gue benci sama Brihaspati!" ungkap Mirah menggebu-gebu. Tangannya memukul pelan kedua pahanya. "Untung nggak akan ketemu lagi."

"Ya Tuhan, Mirah, udah dua hari berlalu juga, tapi masih diungkit-ungkit." Rani yang berada di balik kemudi langsung mendengkus geli. "Hati-hati bilang nggak akan ketemu taunya malah ketemu terus."

Sontak Mirah memelotot. Dicubitnya pelan Rani di sebelah. "Najis, najis! Si Bri sekarang bikin Ibu ngancem buat bawa gue balik ke Solo. Gue disuruh bantuin Mas Keenan dan Mbak Kirani. Enak aja. Nggak mau!"

"Lah kan enak balik ke Solo. Lo bisa jadi juragan batik sama juragan kos-kosan. Daripada kerja di Jakarta, kan? Di sini macet, polusi udaranya parah, belum lagi nunggu gaji bulanan yang pas UMR."

"Ya bener sih, tapi ...." Mirah menggeleng. "Gue nggak mau kejebak di satu tempat yang sama dari kecil sampai nanti meninggal. Di Solo juga nggak ada Wang Publishing, nggak ada tempat di mana gue ada chance buat ketemu terus ngobrol sama Tri Wangsa. Lagian Mas Keenan udah oke ngurus usaha batik. Mbak Kirana yang punya suami babi itu juga udah sangat pinter ngurus duit dari hasil kos-kosan. Jadi, mending gue si bungsu ini milih hidup atas pilihan gue sendiri, bukan mereka."

Rani manggut-manggut. "Gue suka nih putri solo gue yang passionate and chase her dream."

Tepat di lampu merah, Rani menoleh ke arah Mirah. "Mir, udah dong bete-nya. Masalah Brihaspati mungkin ini cara Tuhan membuka pintu jodoh lo. Sial dulu, biar dapat doorprize di akhir. Lo juga deh abis gini mau masuk kerja pertama kali masa pasang wajah cemberut. Nanti sial seharian nggak enak loh."

Refleks, Mirah mengetuk-ketuk dashboard mobil di depannya sambil berbisik, "Amit-amit."

Setelah mengatakan itu Rani pun kembali fokus ke jalanan. Sementara Mirah langsung menurunkan sun visor demi melihat dirinya sendiri di kaca. Ditatapnya dirinya sambil melatih senyum setulus yang dia bisa.

Swipe Right Into Your Arms [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang