3 - Duka

107 52 24
                                    

"Aku butuh bantuanmu."- Sayu

_________________

Hari ini wajahku babak belur. Nyeri sekali dua sisi rahangku. Seumur-umur aku tidak pernah dipukuli. Preman-preman sekolah itu marah besar saat PR mereka ada yang belum kukerjakan. Parahnya lagi PR yang belum kukerjakan adalah milik bosnya. Alhasil mereka menghadiahi tonjokan pada wajahku. Mau mengadu ke guru pun rasanya percuma, aku bisa mati di tangan mereka nanti.

Langkahku hampir sampai di sungai tempat aku bertemu dengan Sayu. Kulihat gadis itu sudah ada disana sembari melambai ke arahku dengan senyum merekahnya. Ekspresinya seketika berubah saat dia menemukan luka lebam di wajahku.

"Kamu kenapa, Raf?" Tanyanya.

"Biasa, berantem hehe." Jawabku seadanya. Aku terlalu malu untuk mengaku bahwa aku korban bully di sekolah.

Sayu memanggil supirnya dan meminta kotak P3K dari mobil. Aku juga ikut menyapa supir Sayu. Pak supir masih waspada melihatku, taku-takut aku berniat jahat pada majikannya. Aku tidak terlalu tersinggung, menurutku itu wajar karena keselamatan Sayu sangat tergantung padanya.

"Aku mau obati luka kamu." Dia menggandeng tanganku untuk berjalan ke tepi sungai.

Saat dia hendak mengoleskan sejenis salep ke wajahku, aku sigap mencegahnya melakukan itu. Aku harus melakukannya sendiri. Aku hawatir rahasiaku ketahuan, karena aku belum siap. Syukurlah, dia memahami saat aku meminta mengoleskannya sendiri.

"Bagaimana harimu hari ini?" Tanyaku antusias.

"Hari ini aku ketemu Revel dan Rui." Jawab Sayu sambil memainkan alang-alang di sekitar kami.

"Oh sahabatmu di Geng Antartika itu ya." Kemarin Sayu menceritakan sahabat-sahabatnya yang semuanya adalah laki-laki. Mereka bersahabat dari kecil karena orang tua mereka adalah kolega bisnis.

"Iya, tadi pagi Rui memarahi Revel lagi. Revel memang lupa kalau aku gak boleh makan telur karena bisa membuat napasku sesak. Revel udah minta maaf dan menyesalinya, tapi Rui marah besar." Sayu melanjutkan ceritanya.

"Rui pasti sangat menghawatirkanmu jadi dia sampai bersikap begitu." Kataku mencoba memahami situasi.

"Iya, Raf. Aku cuma sedih aja kenapa masalahnya jadi gede dan harus berantem." Ucapnya dan wajahnya mulai muram.

"Dulu sebelum aku kena kanker, kita berlima sering main bareng dan rukun. Tapi mereka mulai pecah waktu aku didiagnosa kanker sama dokter." Jelasnya lagi. Tak selang lama Sayu pun menangis lagi.

Sepertinya Sayu depresi memikirkan kondisi fisiknya ditambah sahabat-sahabatnya yang mulai tak rukun. Akhirnya dia datang kesini waktu itu dan terpikirkan bunuh diri.

Sebetulnya dia hanya ingin orang-orang tidak berubah dalam memperlakukannya. Dia hanya ingin didengarkan dan memperoleh kenyamanan. Aku jadi makin simpati pada Sayu. Ditambah rasa sakit yang dia rasakan sendiri selama ini, hal itu makin membuatnya merasa bersalah dengan keributan di sekitarnya.

Aku mencoba menghibur Sayu lagi. Kuajak dia bermain tebak-tebakan. Aku menirukan suara-suara hewan dan dia bisa menebaknya. Untuk sejenak dia bisa melepas beban pikirannya disini. Aku berharap dia bisa sembuh, agar kita bisa menjadi sahabat untuk seterusnya.

***

Dua kali dalam seminggu aku bertemu dengan Sayu di tepi sungai. Aku sering mengajaknya melihat-lihat serangga di sekitaran sungai. Ada beberapa yang belum pernah dia lihat seperti tonggeret, capung dan kumbang. Dia sangat antusias setiap bertemu denganku, begitu pun aku yang sangat bersyukur mempunyai teman sepertinya.

She's Like a Eucalyptus [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang