18 - Perasaan Terlarang

19 9 5
                                    

"Perasaan yang sama seperti perasaanku pada Sayu." - Rui

***

Rui's POV

"Rui! Revel!" Aku mendengar samar panggilan seseorang, tapi sudah kupastikan itu suara Rafin.

"Rafin!" Aku memanggailnya kembali untuk memastikan jarak kami semakin dekat.

"Rui! Gue disini!" Dia berteriak lagi. Hujan tak kunjung reda. Suara Rafin bercampur dengan air hujan yang membuatnya tak terlalu jelas. Aku bergegas ke sumber suara untuk segera menemukannya.

Gerak lariku membuahkan suara kasar dari rerumputan. Hewan-hewan hutan bisa saja terganggu dengan suara langkahku. Aku terus membelah ranting-ranting yang menghalangi jalan. Hingga akhirnya kutemukan Rafin sedang terduduk di tanah.

"Rafin!" Seruku. Reflek dia menghambur memelukku. Tubuhnya gemetaran dan dingin sekali.

Aku tak tahan untuk memarahinya yang telah bertindak ceroboh pergi tanpa pamit. Sebelum aku tidur, aku melihat tenda Rafin gelap. Jadi kucek untuk menawarinya senter cadangan. Namun saat aku mengecek tendanya, dia tidak berada di dalam dan tendanya kosong. Aku yang sudah terlampau hawatir menumpahkan semua omelanku, tapi dia malah menangis makin keras. Melihatnya menangis histeris, aku jadi tidak tega memarahinya lagi dan membantu menenangkannya.

Kami berteduh di bawah pohon yang lumayan lebat agar meminimalisir air menghujani kami. Rafin masih menangis hingga tak sadar tertidur di sandaranku. Malam semakin larut, aku merasa badan Rafin makin panas. Dia demam tinggi dan tak menggigil hebat. Aku curiga dia terkena hipotermia. Wajah dan jari-jari tangannya sudah pucat pasi. Aku memegang dahinya untuk mengecek suhu tubuhnya. Dia perlu melepas bajunya yang basah agar badannya tak membeku. 

"Jangan, Ru." Cegahnya dengan suara yang sudah terlampau lemah, dia tak mau membuka pakaiannya.

"Lo udah kena hipotermia. Kita harus cepat balik ke tenda untuk ganti baju lo yang basah." Lontarku cukup panik melihat kondisinya yang terus menggigil parah.

Aku segera menggendong Rafin untuk segera membawanya ke tenda. Udara dingin makin merasuk, Rafin bisa membeku atau terparahnya membuat jantungnya berhenti. Perjalanan kami cukup memakan waktu karena Rafin tersesat cukup jauh dari lokasi perkemahan.

"Sebentar lagi subuh." Gumamku melihat tanda langit.

Saat kami datang, semuanya bersyukur kami bisa selamat karena ternyata ada tim SAR yang sedang mencari kami. Aku menceritakan lokasi Rafin tersesat namun aku belum mendegar alasannya yang nekat memasuki hutan saat tengah malam. Kemudian kami pun bergegas membawa Rafin turun gunung untuk segera membawanya ke rumah sakit.

Sirine ambulans sudah terdengar, menjadi tanda pos pendakian awal sudah dekat. Aku meluncur dengan cepat untuk segera membawa Rafin masuk ke dalam ambulans. Kubaringkan tubuh Rafin di atas brankar ambulans. Kami berempat turut ikut masuk ke dalam ambluans untuk menemani Rafin ke rumah sakit. Tim medis memasangkan infus ke titik nadi Rafin. Revel membantu memasangkan selimut pada Rafin agar tetap hangat. Kami pun menyadari mata Rafin mulai terbuka.

"Kita mau kemana?" Ucapnya, suaranya lemah dan terbata.

"Kita sedang perjalanan ke rumah sakit, Raf." Ucap Kai terus menggengam tangan Rafin yang dingin.

"Jan-gan. Gue m-au pulang." Pinta Rafin.

"Lo kena hipotermia, lo harus dapat perawatan." Sambung Kei.

Aku diam saja. Aku tidak ingin hal buruk terjadi padanya. Aku merasa gagal lagi menjadi teman. Setelah Sayu, aku tidak mau Rafin menjadi korban berikutnya. Rafin seperti jawaban Tuhan yang diberikan untukku agar aku bisa menebus rasa bersalahku. Aku merasa harus menjaganya. Namun sekarang aku merasa gagal lagi.

She's Like a Eucalyptus [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang