19. Layaknya Seorang Suami

606 53 3
                                    

"Iya, San. Ntar aku bawa bukunya," kata Nano dengan kepala miring menjepit ponselnya di antara telinga dan pundaknya sambil meneliti buku-buku yang telah ia masukkan ke dalam tas di atas pangkuannya. Hari masih begitu pagi, belum ada jam enam, tapi ketua kelasnya itu sudah buru-buru menelpon untuk meminjam buku catatannya.

"Oh ya, entar jangan lupa bawa kertas folio bergaris buat mata kuliah yang ke tiga."

"Emang agak lain tuh dosen. Masak hampir tiap minggu dikasih tes melulu. Kamu inget kan minggu lalu yang kagak bawa kertas folio disuruh keluar?"

Mendengar ucapan San dari seberang membuat Nano kembali membayangkan kejadian minggu lalu. Untung saja dia membawa beberapa helai kertas folio dan sempat memberikannya pada teman-teman sekelas, meskipun tidak semuanya kebagian dan beberapa terpaksa keluar dari kelas karena tak diijinkan mengikuti mata kuliah pada jam tersebut. Namun dia bersyukur bisa sedikit membantu beberapa teman sekelasnya.

"Makanya, San, kamu kan ketua kelas. Kalo bisa kamu beli banyak aja kertasnya, buat jaga-jaga siapa tau ada yang lupa ngga bawa lagi. Kasian yang lain kalo hal sepele kek gitu jadi masalah."

Suara San terdengar terkekeh. "Keknya kamu lebih cocok jadi ketua kelas deh, No, daripada aku. Sampek hal-hal sekecil ini kamu perhatiin banget."

"Yeee! Malah ngaco! Nggak bisa aku jadi ketua kelas. Dari kecil nggak ada jiwa leadership, jadi lebih suka dibimbing daripada ngebimbing."

"Maksudnya lebih suka jadi tipe penurut gitu?"

Nano mencerna kembali pertanyaan San sambil melepaskan ponselnya dari jepitan pundak, lalu menelengkan kepalanya ke kanan dan kiri. "Lebih cenderung ke pasif sih daripada penurut."

"Jadi maksudmu kamu lebih cocok jadi sekretaris kelas?"

Nano mendengus. "Aku nggak ngomong kek gitu."

"Kan emang kamu tipe yang penurut gitu, nggak suka ngatur-ngatur, nggak suka sok ngebos, tapi suka ngingetin kalo ada hal-hal penting yang biasanya aku suka lupa. Cocok banget kalo kamu jadi sekretaris."

"Ogah, San. Aku nggak mau. Ribet soalnya. Aku udah ngerasain jadi sekretaris pas SMA kelas tiga. Apalagi waktu itu aku sempet ribut sama ketua kelasnya, jadi kalo ada apa-apanya, aku jadi yang disalah-salahin. Kan babi!"

"Ya udah, kalo ngga, jadi sekretaris pribadi aku aja gimana?"

"Sekretaris pribadi? Ngaco kamu, San!"

"Ehem!" suara dehaman yang terdengar tak natural itu membuat Nano terkejang di tempatnya begitu sadar bahwa Adi sudah berdiri di depannya dengan rambut yang basah, hanya memakai celana boxer warna abu gelap dan handuk putih tulang yang tersampir di lehernya. Bocah itu menunduk dengan rahang mengeras sambil melipat lengan.

Seperti mendapatkan ancaman, kembaran Mira itu segera memutus telponnya. "Ntar di kampus aja lanjut ngobrolnya ya. Bye!"

Sehabis menutup panggilan, kedua matanya sempat terpaku pada otot perut Adi yang tepat sejajar dengan mukanya, sebelum akhirnya Nano kembali mendongakkan kepala.

"Siapa itu?" kalimat interogatif pertama dari Adi langsung to the point tanpa bertele-tele.

"Si San yang nelpon."

"Ngapain dia nelpon?"

"Nggak ngapa-ngapain. Cuma ngingetin aku buat bawa buku yang mau dia pinjem."

Bocah yang selalu memanggil Nano dengan nama 'Marcel' itu hanya mengangguk pelan, tapi masih tetap berdiri di tempatnya. Suasana jadi hening selama beberapa saat. Bahkan tatapan tajam dari Adi membuat tubuh Nano tak mampu bergerak sedikit pun. Yang bisa ia lakukan malah kembali melirik perut Adi lagi secara sekilas, menelisik bawah pusarnya, lalu kembali ke muka Adi lagi.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang