Semilir angin perkotaan menyapu lembut rambut cepak Nano begitu dia melepaskan helm bogo warna cokelat bercorak kuning garis-garis miliknya. Setelah mereka berdua sampai di parkiran basement sebuah mall, cowok yang lahir beberapa saat sebelum Mira itu turun dari boncengan motor vespa keluaran terbaru dengan model warna biru laut milik San. Dilihatnya sekeliling tempat itu secara seksama sambil merapikan kemeja salur garis hitam putih sekarang sedang dikenakannya yang agak kacau karena tertiup angin saat perjalanan tadi.
Sudah hampir separuh tempat parkir disini terisi oleh kendaraan pribadi yang menandakan kalau hari ini pasti cukup banyak orang yang mengunjungi mall itu. Maksudnya sudah pasti mall itu hampir selalu ramai setiap hari, karena menjadi satu-satunya pusat perbelanjaan di kota itu.
Begitu memasuki kawasan gedung, San melingkarkan lengannya ke pundak Nano. "Nah, kita kemana sekarang?"
Cowok bernama lengkap Marcelino Akshara itu menoleh mendapati wajah San yang berada begitu dekat. Terlalu dekat hingga hidungnya dapat mencium aroma mint dari hembusan napas ketua kelasnya itu.
"Mau ke TimeZone nggak?" usul San kemudian setelah menunggu Nano yang tak kunjung memberikan jawaban.
"Mm, daripada ke TimeZone, mending ke taman hiburan yang outdoor aja sih lebih seru."
San mendecakkan lidah. "Kenapa nggak bilang daritadi sih, No. Tau gini kan aku langsung bawa kamu ke taman hiburan."
"Kita masuk dulu deh, kita liat-liat dulu mumpung baru sampek sini. Abis itu kita ke taman hiburan, gimana?" tanya Nano setengah merasa bersalah. San cuma bisa mengangguk satu kali lalu mereka berdua berjalan beriringan.
"Oh ya, aku pengen beli kaos, San. Sama celana pendek," tukas Nano tiba-tiba saat kedua matanya tertumbuk pada display kaos-kaos yang memiliki desain kontemporer.
"Hah? Buat apaan?'
"Buat aku pake sendiri. Yuk, kamu juga liat-liat dulu, siapa tau nemu baju bagus," ujarnya lalu menarik lengan San mendekati barisan baju-baju yang terpajang di dekat mereka.
Mata Nano berkilat-kilat melihat banyak kaos-kaos bagus yang berwarna cerah. Dengan telaten, ia membalik satu persatu barisan baju untuk menemukan baju yang dia inginkan. Sedangkan San hanya bisa tersenyum di sisinya. Satu lagi hal yang ia ketahui dari Nano adalah anak itu suka berbelanja. Jemarinya yang kecil bergerak-gerak untuk mencari kaos dengan kualitas dan harga yang cocok.
Tak berselang lama, Nano mengangkat sebuah kaos, lalu meletakkannya di depan dadanya sendiri.
"Ini cocok nggak?" tanyanya pada San untuk meminta pendapat sambil melenggang ke cermin tinggi yang ada tak jauh dari mereka.
Kaos yang dipilih Nano barusan berwarna merah polos dengan bordiran kecil di bagian dada kiri. San mendekat untuk menyentuh kaos itu. "Bagus bahannya. Adem, ukurannya pas. Cocok sih sama warna kulit kamu. Tapi warnanya merah gini, emang kamu pede pake warna-warna nge-jreng kek gini?"
Nano mencebik sambil mematut diri di depan cermin.
"Pede-pede aja sih. Ya udah, aku mau cobain dulu." Cowok itu melenggang pergi ke salah satu bilik kamar ganti. Dengan cepat ia mencoba kaos itu. Cocok kok kaosnya. Walaupun warnanya memang mencolok seperti yang dikatakan San tadi, tapi ini bagus dan pas untuknya.
Setelah memutuskan untuk tetap membeli kaos yang itu, Nano segera berganti lagi. Begitu ia melangkah keluar, ia berpapasan dengan seseorang bertubuh tinggi yang berdiri tepat di depan biliknya. Cowok itu mengenakan topi berbahan denim, kaos turtleneck biru tua garis-garis berlengan panjang, celana jeans pendek dan masker hitam yang hanya menampilkan sorot matanya saja. Ketika kedua mata mereka bertemu, cowok misterius itu menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let You Go
JugendliteraturSaat Marcelino Akshara menemani adik kembarnya di rumah sakit, bertemulah dia dengan Adinata Andreas, seorang bocah yang masih SMP tapi memiliki perawakan yang tinggi menjulang, bahkan lebih tinggi daripada dirinya. "Kita belum pacaran, Di!" Bukanny...