10. Hujan dan Rasa

5K 456 77
                                    

"Ah! Ujan lagi! Pagi-pagi gini udah bikin hawanya gak ngenakin!" omel Nano pelan sambil menjinjing kantong belanjaannya dengan wajah cemberut menatap langit gelap yang dihiasi tetesan hujan lebat.

Kini cowok itu hanya mampu merutuki dirinya sendiri yang tidak membawa payung. Bukannya dia tidak siaga payung, tapi tadi pas dirinya keluar memang hanya mendung sedikit dan tak terlihat akan turun hujan. Tapi sepertinya intuisinya mengenai cuaca hari ini kurang begitu kuat dan akurat. Jadi sekarang yang bisa ia lakukan cuma berdiri di teras minimarket sambil menunggu hujan reda dengan sendirinya.

Sebenarnya ia bisa menerobos hujan dan berlari pulang ke rumahnya yang jaraknya tak begitu jauh. Tapi dengan intensitas hujan yang begini deras pasti dirinya tetap basah kuyup nanti. Dia tak ingin sakit demi bisa menjaga adiknya, dan ia juga masih bekerja nanti sore.

Dengan sabar, ia berdiri di sana, bersenandung kecil sambil memperhatikan secara acak kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Sayup-sayup angin hujan kadang mengarah ke teras minimarket, membuat kembaran Mira itu mundur beberapa langkah supaya tidak basah terkena air hujan.

Ngomong-ngomong bagian depan minimarket itu tidak memiliki lapangan luas untuk parkir seperti minimarket pada umumnya, terasnya langsung bergandengan dengan trotoar jalan, jadi Nano bisa melihat jelas jenis kendaraan yang melintas di depan matanya sekarang. Itu kalau kendaraan yang melintas tidak ngebut.

Jam digital yang tertera di layar ponselnya masih menunjukkan pukul setengah sembilan. Nampaknya tidak masalah jika ia menunggu hujan reda dulu. Walaupun ia tak begitu suka. Menunggu hujan itu rasanya hampir sama seperti menunggu harapan tak tentu dari gebetan. Kadang cepat, kadang lama. Kalau hujan sih masih ada kepastian bakal berhenti. Nah, kalau menunggu harapan beda kasusnya. Untung-untung bisa dikasih respon cepat, kalau responnya lama? Gimana kalau nggak direspon sama sekali?

Hm? Kenapa membahas hujan jadi melenceng ke permasalahan semacam itu sih?

Kepala Nano menggeleng pelan mencoba menepis pikirannya yang seringkali melantur tidak jelas.

Hujan yang turun deras dan langit yang gelap begini membuat Nano teringat kejadian kemarin pas di rumah sakit. Kejadian yang membuatnya menyimpan kejengkelan dan puasa bicara pada Adi. Sikap bocah itu terlalu berlebihan padanya. Mirip seperti seorang pacar yang....

???

Ehem! RALAT! Mirip seperti seorang ayah yang perhatian dengan anaknya. Atau mungkin seorang anak yang perhatian dengan ayahnya? Mengingat si Adi masih berusia lebih muda darinya?

Ah! Masa bodoh lah! Pokoknya ya kejadian menyebalkan itu, yang sempat membuat cowok berwajah manis itu hilang kesabaran.

Namun kalau dipikir-pikir sekali lagi, Adi juga tak sepenuhnya salah sih. Anak itu tak bermaksud buruk. Ia baik banget malah. Mau membelikan makanan untuk banyak orang secara cuma-cuma kemarin. Dan mencegah Nano untuk hujan-hujanan agar tidak jatuh sakit.

Lihat saja sekarang! Dirinya tidak mau menerobos hujan untuk pulang karena takut sakit lalu tidak bisa merawat adik semata wayangnya.

Um.... Apa Nano harus minta maaf pada Adi? Sepertinya kali ini dirinya bersikap terlalu berlebihan. Eh, tapi si bocah labil itu juga salah padanya, seenaknya menyuruh ini itu seperti pacarnya saja.

Duh! Kenapa 'pacar' lagi sih yang ada di pikiran Nano?

Adi bukan homo! Dan jangan sampai deh! Nano masih belum bisa menerima hubungan sesama jenis seperti itu.

Mungkin si Bayi Tua itu cuma menggunakan cara yang salah, jadi kelihatannya agak menjengkelkan dalam menunjukkan sikap baiknya hingga sering membuat Nano naik pitam.

Never Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang