Wajah Nano terlihat segar seusai mandi sore ini. Bukan mandi di rumah sakit, melainkan di rumahnya sendiri. Karena ia belum ganti baju sejak kedatangannya di rumah sakit waktu itu. Nano tidak ingin jadi cowok yang jorok dan membuat orang lain menghindarinya hanya karena ia bau keringat yang menempel di bajunya.
Yah, meskipun Nano bisa dibilang cuek dan kadang tak peduli dengan pendapat orang, namun ia masih punya rasa malu. Bau badan kan pasti mengganggu indera penciuman orang yang berpapasan dengannya. Selain itu, Nano juga masih memiliki rasa menghargai hidung orang lain.
Eh? Kenapa jadi mempermasalahkan bau badan? Nano harus cepat-cepat mengenakan pakaian lalu mengisi perutnya yang terasa kosong.
Dan ngomong-ngomong, hari ini ia masih cuti kerja, jadi ia punya banyak waktu untuk menjaga adiknya di rumah sakit. Dan masalah kuliah, Nano masih ijin untuk tidak masuk.
Ia meneliti pakaian yang ia kenakan dari pantulan cermin lemari di kamarnya, celana panjang jeans hitam, kaos PSD warna jingga, ditambah jaket kulit cokelat milik mendiang ayahnya yang masih terlihat bagus. Sejujurnya ia ingin pakai celana jeans selutut. Namun karena ia akan menginap di rumah sakit, ia memutuskan untuk membungkus bagian pinggang hingga mata kakinya dengan celana panjang supaya hangat.
Oke. Nano sudah siap untuk pergi sekarang.
Ia pun mengambil kunci motor lalu mengunci pintu rumahnya dari luar.
Setelah menikmati makan sebentar di sebuah warung tenda di samping rumahnya, juga membeli beberapa makanan ringan, buah dan air mineral dari minimarket dekat situ, Nano langsung tancap gas ke rumah sakit.
Sesampainya disana, Nano langsung masuk dan menghampiri Mira yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam. Mungkin beberapa jam mendatang, Mira akan siuman.
Diletakkannya beberapa kantong kresek yang ia jinjing ke atas meja kecil sambil menghela napas panjang. Jam dinding masih menunjukkan pukul setengah tujuh malam, jadi Nano masih punya banyak waktu untuk sekedar bersantai sambil menjaga adiknya.
"Nano," panggil seseorang saat Nano mendaratkan tubuhnya di atas sofa kecil di sudut ruangan.
Dari asal suara, Nano melihat cowok yang dirawat satu kamar bersama Mira, juga cowok yang hampir bunuh diri tadi pagi, sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil menatapnya datar.
Siapa namanya? Nano lupa dan mencoba mengingat-ingat hingga menemukan nama Adinata Andreas di papan kecil yang tertera di ujung tempat tidur cowok itu.
Nano hampir saja mengulum senyum untuk Adi kalau saja ia tidak ingat dengan kejadian pas cowok itu menertawakan namanya. Sejujurnya ia sudah tidak kesal. Hanya malas untuk berbincang dengan cowok itu yang kini sudah mendapatkan penilaian buruk di matanya sejak kesan pertama berkenalan.
"Hm?" balas Nano sekenanya. Yang penting menjawab, kan? Daripada diam.
"Kamu bawa apa?" tanya Adi sambil menatap bungkusan kresek yang tadi ia bawa.
"Aku.... laper," lanjutnya lalu mengusap-usap perutnya sendiri dengan ibu jari. Cowok itu menatap Nano memelas.
Karena tidak tega, akhirnya Nano mengambil dua bungkus roti basah dan satu buah pir dan jeruk dari dalam kantong kresek, lalu diberikan kepada Adi. Cowok itu langsung menyambarnya tanpa berbasa-basi ataupun sekadar berterimakasih.
Nano duduk dipinggiran tempat tidur cowok itu. Ia ingin menanyakan sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak kemarin.
"Kok keluargamu nggak ada yang nengokin?"
"Hm? Bokap sama nyokap lagi kerja diluar kota. Mereka nggak tau aku abis kecelakaan. Dan aku nggak mau mereka tau," balasnya dengan nada yang tak sedingin kemarin, sambil mengunyah roti sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Let You Go
Teen FictionSaat Marcelino Akshara menemani adik kembarnya di rumah sakit, bertemulah dia dengan Adinata Andreas, seorang bocah yang masih SMP tapi memiliki perawakan yang tinggi menjulang, bahkan lebih tinggi daripada dirinya. "Kita belum pacaran, Di!" Bukanny...