BAB 3 : Double Kill

90 9 0
                                    


Sampai di rumah sakit, Riga langsung dibawa ke ruang UGD. Seorang dokter menghampiri Viona yang saat itu tampak panik.

"Viona, kamu jangan panik," ujarnya pada gadis itu.

"Tapi, Om. Riga baik-baik aja, kan?"

"Om akan periksa dulu. Kamu jangan panik. Dan juga ... jangan kasih kabar sama orang tua kamu dulu tentang hal ini. Om akan cek dulu kondisi Riga."

Viona mengangguk, meskipun tetap tak bisa dibohongi kalau ia memang dalam keadaan yang panik. Ya, selalu begini kalau Riga dalam keadaan buruk. Dadanya ikutan sesak kalau dia drop.

Dokter meninggalkan Viona untuk segera memeriksa keadaan Riga. Ya, laki-laki paruh baya itu adalah teman papanya. Dari semenjak Riga kecil, hingga saat ini beliau lah yang terus memantau keadaan Riga.

"Gimana, Vi?" tanya Billa kembali setelah memarkirkan mobil.

"Belum tau, Bil. Ini masih diperiksa."

"Lo udah kasih tahu Om Justin dan Tante Hana."

Viona menggeleng. "Kata Om Erik, jangan kasih kabar dulu."

Di saat yang bersamaan, seorang cowok menghampiri keduanya. Seperti dokter kebanyakan, dia mengenakan snelli khas seorang dokter.

"Viona."

Yang tadinya fokus mikirin kondisi Riga, sekarang buyar saat mendengar sapaan itu. Beranjak dari posisi duduknya dan berdiri berhadapan dengan dia.

"Kakak kok di sini?"

"Tadi papa kasih kabar kalau kamu di sini."

Billa tak ingin nimbrung dengan obrolan keduanya, tapi ia sedang menahan senyumannya ketika dihadapkan pada pertemuan Viona dan cowok bernama Sean. Ya, siapa sih yang nggak kenal dengan cowok yang satu ini. Karena dia adalah salah satu dosen di kampus yang mengajar psikolog. Sebagai sahabat dari Viona, jelas ia tahu siapa sosok dia di dalam kehidupan Viona.

"Riga sakit lagi?"

Viona tak menjawab, hanya saja ia memberikan anggukan akan pertanyaan yang diberikan padanya.

Billa beranjak dari posisi duduknya. "Vi, gue beli minuman dulu, ya."

"Iya," jawab Viona pada Billa. "Permisi, Kak," tambahnya mengarah pada Sean yang mendapatkan anggukan dari sikapnya.

Seperginya Billa, barulah sikap Sean seolah berubah drastis pada Viona. Ayolah, hubungan keduanya bukan perkara baru lagi di dalam keluarga maupun di area kampus.

"Kakak di sini, bukannya lagi tugas, ya. Aku gangguin kerjaan kamu." Memasang muka tak enak karena ia sudah sering sekali membuat waktu Sean sampai terfokus padanya.

"Ada yang gantiin."

"Sudah makan?" tanya Viona.

"Udah tadi. Kenapa?"

"Cuman nanya dan mastiin kamu nggak melupakan makan lagi. Kebiasan burukmu gitu, kan. Saking fokusnya kerja, makan pun dilupakan."

Sean tersenyum menanggapi ocehan Viona, seperti ocehan mamanya yang sedang memaksanya untuk makan.

Menyambar dan menggenggam tangan gadis itu, seolah membuat dia agar tetap tenang. Karena ia tahu betul, Viona itu tipe panikan. Apalagi ketika kondisi Riga ngedrop, seolah berpengaruh besar pada dia. Mungkin efek keduanya kembar, jadinya saat Riga tak baik-baik saja, tubuh gadis ini seakan ikut merespon.

"Jangan panik, Sayang."

"Jangan menggodaku terus," berengut Viona akan sikap Sean.

Viona berasa terpental ketika Sean menggunakan panggilan itu. Kebiasaan memang cowok ini. Asal tahu saja, tampang kalem dan dingin, tapi saat hanya berdua dengannya seolah semua itu berbanding terbalik. Sean seakan menunjukkan sosok aslinya.

Pemilik Hati Sang Pewaris (Session 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang