BAB 1 : Sambutan Pagi

465 20 0
                                    

Ketika bangun, membuka mata dan masih bisa melihat cahaya mentari yang menelisik masuk ke sela sela gorden jendela kamar ... itu seperti sebuah anugerah yang berarti. Hal yang ditakutkan tak terjadi ... masih bisa bernapas hingga detik ini.

Banyak orang yang menyianyiakan perkara nyawa, tapi baginya ... itu adalah hal yang paling menakutkan. Bukan perkara takut mati, tapi justru takut jika orang orang yang berada di sekitarnya ikut sedih. Takut, jika ia membuat mereka semua sia sia menyayanginya hingga detik ini.

Bangun dari posisi tidur, kemudian berjalan perlahan lanjut menuju kamar mandi. Tak butuh waktu yang lama untuk berada di dalam sana, karena dirinya bukanlah seorang gadis yang harus berlama lama untuk perkara mandi.

Lanjut berganti pakaian, berbenah diri ... kemudian segera keluar dari kamar dengan sebuah tas ransel sudah berada di punggungnya dan laptop yang ada di pegangannya.

Suara obrolan terdengar jelas ketika kakinya melangkah menuruni anak tangga. Ya, asalnya dari arah ruang makan. Makin dekat, hingga bisa melihat siapa yang ada di sana.

"Pagi, Ma, Pa," sapanya langsung duduk di kursi yang ada di sebelah seorang laki laki paruh baya yang sedang menikmati sarapannya.

"Pagi, Sayang," balas Hana dan Justin pada putra mereka.

Mulai menikmati sarapan yang sudah disiapkan untuknya. Ya, jauh berbeda dengan sarapan pada umumnya yang bisa menikmati makanan bebas apapun yang diinginkan, tapi tidak dengan dirinya yang justru harus dalam aturan.

"Pa, file semalam udah ku kirim sama Papa. Nanti bisa dicek ulang ... siapa tahu ada yang salah," ungkapnya sambil menikmati salad sayuran dengan yogurt tanpa rasa.

"Udah Papa cek kok tadi dan hasilnya udah benar semua," sahut Justin pada perkataan putranya.

"Nanti kalau Papa butuh bantuan lagi, kirim saja padaku."

"Hari ini kamu kuliah sampai sore?" tanya Justin.

"Enggak, Pa ... aku ke kampus cuman mau ngasih tugas sama anak kelas lain. Karena Pak Wisnu berhalangan hadir," ungkapnya.

"Langsung pulang, ya," pinta Hana.

Hanya mengangguk dengan berat, saat kalimat itu dikatakan mamanya. Ya, selalu begitu ... pesan yang ia terima dari mamanya. Setiap hari, setiap tahun ... entah sampai kapan.

Dari kejauhan terdengar langkah berlari dari arah lantai dua saat menuruni anak tangga. Bukan itu saja, bahkan saat menuju meja makan dia berlari seperti dikejar deadline.

"Pagi semuanya," sapanya pada semua dengan muka panik.

Saking hebohnya, beberapa asiten rumah tangga sampai celingak celinguk karena kehebohan itu. Tapi saat melihat siapa pelaku kepanikan, mereka kembali ke tugas masing masing. Seakan akan ini adalah hal yang sudah biasa dilakukan si pelaku utama.

"Vi, kamu kenapa lagi, sih, Nak?" tanya Hana pada gadis bernama Viona itu.

Sampai heran, ini anaknya yang satu kayak nggak pernah bisa diam. Semua dibikin heboh dan terburu-buru tanpa kejelasan.

Riga menarik napasnya dalam, kemudian menyenderkan punggungnya di kursi. "Semalam nonton sampai larut, telat bangun karena sengaja nggak set alarm, tiba tiba keingat tugas belum bikin. Seketika panik, langsung chat siapa yang udah bikin tugas di kelas buat contekan."

Justin tersenyum simpul saat mendengar penjelasan Riga yang seolah hapal betul apa yang sedang dialami Vio. Ayolah, saking terbiasanya dia begitu, kadang sampai berpikir jika Riga adalah sebuah pengingat dari kesalahan dan tindak tanduk saudarinya itu.

"Apa kamu mencatat semua itu, Ri?" tanya Hana.

"Sudah terekam di otakku, Ma," responnya.

Mendengar penjelasan Riga, membuat Vio terkekeh. Kemudian memeluk Riga dari arah belakang.

Pemilik Hati Sang Pewaris (Session 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang