Gue menghabiskan satu botol minuman beralkohol tapi efeknya belum terasa. Perasaan masih amburadul. Perempuan yang menemani gue selama dua tahun memilih laki-laki lain, salah gue apa? Kurangnya apa? Semua yang dia mau selalu gue penuhi. Perhatian? Semuanya untuk dia. Gue mau putus, sumpah itu adalah kalimat yang tidak mau gue dengar.
Beberapa hari ini Jazz bar menjadi tempat gue melampiaskan kesedihan dan kekecewaan. Minum sesuka hati dan tidak peduli dengan kesehatan, mungkin itu bentuk hukuman untuk diri gue sendiri.
"Stop menghukum diri lo." Bastian mengambil gelas dari tangan gue. Bastian datang karena perintah mama, gue yakin.
"Bas, lo nggak ada niat bantu gue?"
Bastian mengelus punggung gue, "Balikan sama si dia?"
Gue mengangguk.
"Ngapain bertahan dengan orang yang nggak cinta sama lo?" Bastian menepuk-nepuk punggung gue agak keras.
"Bohong. Dua tahun gue sama dia, mustahil kalau dia nggak cinta!"
"UANG." Singkat Bastian.
Huruf yang berusaha gue susun menjadi satu kalimat untuk menjawab Bastian sangat sulit. Kenyataannya seperti itu tapi berkali-kali gue mengelak. Gue patah dan hancur. "Bro, tuangin," pinta gue ke Bastian, mengalihkan pembicaraan.
"Udalah, gue antar lo pulang. Besok selesai kelas gue ajak lo jalan-jalan." Bastian membujuk gue. Tarikan napasnya saja sudah gue pastikan dia kesal.
Masih di Jazz bar.
Melihat galeri yang penuh dengan foto perempuan yang membuat gue jatuh cinta, rambut hitam lebat, senyumnya yang manis, matanya, ah semuanya cantik, dan gue suka. "Lo, kenapa sih? Kalau gue ada salah.." Gue sudah tidak tahu apa yang mau gue katakan. "Bas, lihat pacar gue cantik, kan?" Gue memperlihatkan foto Rana.
"Mantan, lebih tepatnya." Bastian memperjelas. "Jo, ini udah sebulan lo! Jangan menyiksa diri!" Bastian dan mama tidak ada bedanya, mereka tidak mengerti perasaan gue.
Meneguk minuman sambil menatap foto kesayangan gue, mengabaikan apa yang dikatakan Bastian. Gue terus menatap foto Rana.
"Ah! Apa sih ganggu banget." Suasana hati gue berubah drastis, notifikasi pesan dari nomor yang gue nggak tahu menghalangi foto pacar gue. "Ya ampun perkara tugas aja," kesal gue, mengoceh ke layar ponsel. "Siapa si ini. Dari tadi bacot."
"Aduh orang putus cinta sensitif banget."
"Halangin foto pacar gue."
Bastian memukul pelan kepala gue, "Gila lo! Ayo pulang. Mabok lo."
"Bentar gue mau ngasih pelajaran sama nih orang."
Gue tidak tahu sudah gelas ke berapa yang gue minum dan kepala gue sedikit pusing tapi masih dalam keadaan sadar. Pesan yang tidak penting itu menambah kekacauan hidup gue. Oh, perempuan! Namanya Melody, baiklah. Kali ini gue bakalan buat dia, Melody ketua kelas itu diam.
"Lo kenapa? Ini udah malam!" Geleng Bastian berusahan menghentikan gue.
"Dia harus tahu batasnya. Ibaratnya gue udah di garis finish dan dia di garis star."
"Mabok lo. Pulang aja, ayo." Bastian menarik gue.
Gue pastiin masih dalam keadaan sadar, tadi hanyalah ucapan rancu.
"Emang dia salah apa? Bagus dong dia ingetin lo!" ujar Bastian yang menarik gue.
"Salah karena nutupin foto pacar gue." Tangan Bastian gue hempaskan dengan keras, biar dia tahu kalau gue masih dalam keadaan sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You
RomanceKeputusan konyol yang berdampak panjang, seandainya, coba saja malam itu Melody menurunkan egonya. Sesalnya begitu dalam. Sekarang ia menyalahkan diri sendiri atas semua hal buruk yang terjadi. "Lo salah satu penyabab mama gue meninggal!" bentak M...