BAB 7- JOEL

25 5 0
                                    

Hari ini pemakaman mamanya Melody, gue tidak berniat untuk datang, lebih baik di rumah dan menenangkan pikiran yang sudah kacau dalam beberapa hari. Namun apa yang gue rencanakan berbeda, kaca mata, baju, celana, sepatu semuanya berwarna hitam, satu lagi gue berangkat dengan mobil berwarna hitam. Artinya gue memutuskan untuk pergi. Roh kepedulian yang mendorong gue.

"Mau ke mana? Pagi benar." Mama melihat gue dari atas sampai bawah, "Mau melayat? Siapa?" tanya mama terkejut.

"Ada mamanya teman."

"Tumben. Siapa nama teman kamu? Teman kampus? Perempuan atau laki-laki?" Mama membombardir gue dengan pertanyaan yang sama sekali tidak bermutu. Sebelum lebih banyak pertanyaan, gue pamit, dan melangkah dengan cepat.

Di dalam mobil.

Oke, Joel, kita berangkat, gue menyalakan mobil. Tidak ada masalah, cukup diam, datang, dan katakan turut berbelasungkawa. Hanya roh kepedulian yang masih aktif sampai gue mau melakukan hal ini.

Perjalanan yang gue perkirakan hanya sejam ternyata salah, macet akibat terjadi kecelakaan membuat perjalanan gue menjadi dua jam empat puluh menit. Di lokasi sudah banyak tamu yang berdatangan. Yang pasti tidak ada yang gue kenal, gue tertawa. Hanya saja kalau Bastian dan Joana datang pasti gue kenal mereka.

Mobil yang terparkir di sepanjang jalan lorong komplek rumah Melody begitu banyak, begitu juga motor yang kira-kira ada lima puluh motor. Gue berjalan dengan percaya diri, tidak terintimidasi dengan jumlah kendaraan yang ada.

Di sebelah kiri dari posisi gue saat ini, Bastian, dan beberapa teman dari kampus, sebenarnya gue juga tidak kenal tapi pikiran gue pasti benar. Syukur mata elang gue berfungsi. Tingkat kepercayaan diri gue seratus persen, berjalan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dan semua pandangan tertuju ke gue. Gue terlalu cakep.

"Joel," panggil pak Bambang menghampiri gue. "Duduk di samping bapak saja." Gue dengan senang hati menerima tawaran itu lagipula posisi Bastian masih jauh dari tempat pak Bambang. Alasan sebenarnya gue tidak nyaman jadi pusat perhatian.

"Pak, ini satu kampus yang datang? Banyak benar," bisik gue.

"Satu angkatan dan ada beberapa senior, anak club basket, jadi banyak," jelas pak Bambang.

Itu Joel? Tumben banget dia hadir, dia kenal Melody? Benar kata orang cakep banget, Joel pacaran sama Melody? Datang kampus saja tidak pernah.

Jelas banget suara mereka, yang pasti semuanya itu tidak benar, tidak satu pun. Gue datang hanya kasihan dan rasa peduli sebagai sesama manusia, titik. Tapi yang cakep itu benar.

"Ssttt, kalian ini datang untuk gosip?" Tegur pak Bambang.

Orang yang gue cari akhirnya muncul, matanya sembab namun senyumnya masih tampak. Satu persatu tamu yang datang melayat di samperin. Tiba waktunya Melody menghampiri deretan gue duduk.

"Terima kasih," ucapnya membungkuk.

Gue terus menatapnya, menunggu sampai giliran gue mengucapkan belasungkawa. Sayangnya gue dilewati, uluran tangan gue diabaikan. Malu? Sudah pasti. Tapi apa boleh buat.

Tuh, sepertinya mereka pacaran, diam, nggak mungkin, nanti pak Bambang negur lagi.

"Gue nggak pacaran sama Melody," jawab gue menoleh ke sumber suara.

Terima kasih, harusnya dia mengatakan itu ke gue. Kalau saja gue meninggalkannya di bar gue pastikan tangisannya bukan hanya kesedihan karena mamanya tiada melainkan karena dirinya yang sudah tidak suci. Melody, lo masih berutang kata itu ke gue.

***

Jarak tempat peristirahatan terakhir untuk mama Melody tidak jauh dari rumah. Iringan mobil yang akan mengantar sudah siap. Roh kepedulian gue masih aktif tanpa ada yang menyuruh. Gue bergegas membantu keluarga dan kerabat dekat dari Melody mengangkat peti jenazah.

Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang