Gue berdiri di depan cermin memandangi diri sendiri, sebuah takdir atau memang sudah waktunya mama menutup mata untuk selama-lamanya? Gue masih berandai-andai. Setiap kembali ke rumah gue masih bertanya benarkah, mama sudah tiada? Sungguh memilukan.
Gue menempuk-nempuk kedua pipi, melihat diri sendiri, kacau, mata bengkak, wajah pucat, tampak wajah tidak semangat untuk menjalani hidup. Sungguh tragis. Gue masih berdiri mengasihani diri sendiri, menikmati rasa sakit dan kesedihan. Tapi gue berusaha melupakannya malah semakin menyedihkan.
Semakin banyak penolakan dari semua pertanyaan gue.
"Gue nggak bersalah atas kematian mama lo." Sialan, gue tiba-tiba mengingat pembelaan Joel tapi alasannya masuk akal. Gue masih di depan cermin dan suaranya terdengar nyata.
Gue memukul cermin, wajah Joel terbayang, enyalah! Kesedihan yang belum berakhir ditambah kekesalan mengingat laki-laki berengsek itu, sungguh kacau. Penjelasannya memang masuk akal, bukan Joel penyebab kematian mama namun, sangat sulit menerimanya. Tapi dia melempar uang sampai papa menarik paksa gue dan akhirnya mama meninggal. Gue menemukan alasan untuk tetap membenci dan menyalakannya.
Tenang, hembuskan, tarik, hembuskan, tarik, hembuskan kegiatan ini gue lakukan berulang-ulang sampai semua terasa lebih baik. Sialan! Wajah Joel tampak di dalam cermin, tidak bukan cuman dia tapi gue yang terdiam saat di cium, gila. Gue langsung melompat ke tempat tidur, menutup kepala dengan batal dan berteriak, "Kenapa lo cium gue Joel, sialan!" perasaan gue benar-benar bercampur aduk dan otak gue memikirkan hal secara acak.
Sumpah! Ciuman tadi sama sekali tidak terlintas di benak gue, sialnya memori gue mengingatkan hal itu. huft. Sebaiknya gue beristirahat sebelum memikirkan hal aneh lainnya. Selamat malam mama.
Satu, dua, tiga, empat, lima, otak gue masih saja terus memikirkan banyak hal, tentang mama, papa begitu juga Joel. Gue harus mengalihkan pikiran ini dengan cara apa lagi? Menghitung domba gue sudah coba alhasil gagal.
Gue kembali duduk di pinggir tempat tidur, menenangkan diri. Sekarang gue berusaha membiarkan pikiran apapun yang datang mengisi kepala gue, biarkan mengalir. Menutup mata dan gue kembali di masa anak kecil yang berlari ke sana kemari.
Semua kenangan bersama mama, papa bermain di taman, berenang, makan bersama, menunggu jemputan dari papa, dan mama yang setiap paginya selalu mengingatkan barang-barang yang diperlukan di sekolah. Papa yang selalu mengelus rambut mama, mencium pipi, membuka pintu mobil bahkan pintu rumah sekalipun papa tidak mengizinkan mama melakukannya sendiri. Gue tersenyum mengingat hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Sungguh indah, damai.
Di pinggir tempat tidur, gue masih menutup mata membiarkan semuanya mengalir. Nikmati Melody, apapun yang terlintas. Rasakan, jangan lari. Sayang, pikiran dan hati gue tidak sejalan, sejauh apapun gue berusaha membiarkannya mengalir namun, hati gue masih menolak ingatan yang menyedihkan.
Gue menggeleng tidak ingin mengingat masa itu, Sekali lagi gue mencobanya, gagal. Ingatan itu tetap mengalir.
Kurang ajar, hari itu kali pertama gue mendengar papa berkata kasar kepada mama. Menjambak rambut mama. "Stop, gue nggak kuat," gue membuka mata, menangis, memukul dada. Bagaimana pun gue benci mereka, papa dan Joel.
Menyeka air mata, gue memeluk bantal guling lalu kembali menangis. Gue benci dengan semua hal yang terjadi.
"Don't touch my girlfriend." Oh ya ampun, perkataan Joel kembali menari di kepala gue. Sudah berapa banyak masalah yang gue pikirkan dalam waktu beberapa menit? Dari masa lalu dan yang sudah terjadi secara bersama-sama menyerang gue tanpa ampun. Enyalah, kumohon. Gue menyembunyikan wajah dibalik bantal guling dan berteriak. Gue benci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You
RomanceKeputusan konyol yang berdampak panjang, seandainya, coba saja malam itu Melody menurunkan egonya. Sesalnya begitu dalam. Sekarang ia menyalahkan diri sendiri atas semua hal buruk yang terjadi. "Lo salah satu penyabab mama gue meninggal!" bentak M...