Keputusan yang paling konyol dan bodoh. Kalau saja gue bisa memutar waktu, hal itu gue pastikan tidak akan terjadi. Manusia aneh atau Joel, siapa pun dia sudah menginjak harga diri gue. Uang sebanyak dua juta sembilan ratus lima puluh ribu yang dilempar ke wajah, gue bakalan simpan dan membalas perbuatannya.
Kejadian itu masih menari di kepala gue, api dalam hati gue masih berkobar. Melampiaskan semua rasa kesal, gue menendang kursi yang ada di kelas. Dan bodohnya lagi, kenapa gue berpikir untuk menunggu manusia aneh mengumpulkan tugas.
"Bodoh lo, Mel!" Kesal gue.
"Perkataan adalah doa."
"Joana," panggil gue heran. "Lo ada kelas?" Setahu gue hari ini cuman kelas pak Bambang yang dibatalkan. "Bukannya lo udah kumpul tugas juga?"
Joana berjalan ke tempat duduk, menyilangkan kaki, menusuk minuman yang ada di tangannya, "Sini duduk, gue bosan di rumah, pengen keluar aja."
Gue duduk, mengoceh tentang kejadian semalam. Tidak tahu sudah berapa lama gue melampiaskan kekesalan pada Joana. Sampai satu nama terucap, dengan ekspresi mengerutkan dahinya, ada yang tidak beres. Gue pura-pura menghiraukan sikapnya yang berubah dan terus mengoceh.
"Joel berengsek!" kesal gue menyebut nama itu dengan keras.
Joana menutup mulut gue dengan tangan kanannya, "Stop."
Siapa laki-laki itu? Apa dia seorang mafia yang namanya tidak bisa disebutkan? Gue menatap penuh keheranan pada Joana. Jantung gue berdebar.
Gue melepaskan tangan Joana, "Kenapa?"
"Jangan pernah berurusan dengan dia." Melody memperingatkan.
Gue diam dan menatap Joana sampai ia memulai menjelaskan, siapa dan kenapa gue tidak perlu berurusan lagi dengan Joel, manusia aneh. "Joel punya kuasa jadi bisa melakukan sesuatu hal yang menurutnya mengganggu kehidupannya, perkara kecil pun." Syukurlah dia bukan mafia hanya laki-laki yang penuh kuasa dan menurut Joana itu adalah masalah besar.
"Gue cuman ingetin tugas, lo tau pak Bambang kalau udah bilang A harus A," jelas gue membela diri. "Eh, dia malah marah nggak jelas."
"Cukup kemarin aja, jangan ada hari berikutnya lo berurusan sama dia."
Semenjak gue masuk kampus, sekalipun gue tidak tahu siapa dia. Kemarin adalah pertama kalinya gue bertemu. Bagaimana bisa Joana mengenalnya? Apa cuman gue saja yang tidak tahu? Semua mahasiswa kenal dia? Ah! Kenapa juga gue harus pikirkan.
"Gue kenal orang tuanya." Gue merasa Joana bisa membaca pikiran orang lain. "Lo pasti bingung? Nggak usah dipikirkan, semua dosen tau siapa dia. Tapi sebagian mahasiswa kenal dan nggak termasuk lo."
Gue tidak mau memikirkannya tapi pikiran ini mengarahkan gue untuk memikirkannya. Kampus ini ada kelas eksekutif? Apa seperti itu maksud dari Joana? Tapi kalau ada, kenapa dia tidak termasuk? Berarti opini yang ini salah. Terserah, gue tidak perlu peduli.
"Tau ah! Ayo ke ruangan pak Bambang. Gue mau nyetor tugas."
***
Pikiran gue masih saja sama tentang kejadian semalam, entah sampai kapan hal itu menari di kepala gue. Belum juga berakhir, suara papa mulai terdengar. Gue yakin saat ini keadaannya dalam pengaruh minuman keras. Diam di kamar adalah pilihan terbaik tapi jeritan mama begitu keras membuat gue buru-buru turun. Gue berharap keputusan yang tepat.
"Punya anak tuh diajarin yang bener." Papa membentak mama. Menarik rambutnya.
Hati gue yang api kemarahannya belum padam tidak terima perlakuan papa. Yah, ini memang bukan yang pertama kalinya tapi gue sudah muak untuk menahan diri dan mendengarkan mama untuk tidak melakukan apa-apa.
"Berengsek, pengecut," teriak gue mendorong papa.
"Perempuan murahan, miskin, percuma sekolah tinggi, kamu tidak ada bedanya dengan mama sama-sama murahan, tidak tahu diri", cemooh papa mencengkeram kedua lengan gue.
"Apa? Dasar pengecut." Gue tahu kata pengecut akan membuat papa semakin marah.
Kali ke tiga? Keempat? Kelima? Gue sudah lupa tamparan ini yang ke berapa. Sakit? Tentu saja. Tapi lebih sakit melihat mama yang berusaha melindungi gue.
"Stop." Mama berteriak.
"Kamu diam, anak ini sudah jual diri."
Astaga, gue lupa kemarin bertemu dengan papa di Jazz bar dengan uang yang berserakan. Sekarang gue tahu kenapa dia seperti ini. Gue mencoba menenangkan diri agar tidak terjadi sesuatu yang lebih kacau lagi.
"Pa, semuanya salah paham. Kemarin itu teman Melody..." Belum selesai gue menjelaskan, papa kembali mengamuk, menghancurkan meja.
"Berapa banyak uang yang kamu terima? Mana uang itu? Berikan ke papa."
Dalam hati gue tertawa terbahak-bahak. Peduli dan khawatir itulah yang gue pikirkan tapi nyatanya uang, uang, dan uang yang menjadi amukan papa. Konyol sekali.
"Mana uang itu?" papa meminta dengan menggeledah kantong celana gue. Memang bodoh uang sebanyak itu untuk apa gue simpan di situ?
Mama mencoba menghalangi papa yang terus saja membentak, mencemooh, dan sesekali memukul gue. "Minggir atau anak ini mati."
"Berapa uang yang kamu perlu?" teriak mama, menangis.
"Serahkan semuanya."
"Jangan, Ma." Gue masih berdiri di hadapan papa dengan cengkraman yang begitu menyiksa.
"Oh begitu," ucapan papa yang gue pikir ada maksud terselubung. "Kita ke Jazz bar, minta uang yang banyak sama sugar daddy kamu."
Orang tua gila ini memang sangat menyiksa. Gue tidak bisa melawan taruhannya nyawa mama. Menarik paksa mengikuti kemauannya. Gue tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di Jazz bar nantinya. Sekarang yang menjadi pertanyaan gue, memangnya papa melihat wajah Joel, manusia aneh itu? Seharusnya gue panik dan takut, ini malah gue memikirkan hal yang tidak jelas.
"Minta seratus juta."
Gue masih acuh tak acuh, tidak menggubris apapun yang dikatakan papa sampai tulisan besar yang bercahaya itu terlihat. Debaran jantung gue semakin tidak karuan. Semakin dekat dan di depan sana ada Joel, gawat.
"Yah, tepat sekali. Itu dia sugar daddy mu. benar, kan? Apa dia sedang menunggu mu?" tawanya penuh kemenangan.
Mampus gue! papa tau wajah Joel. Batin gue. Pasrah.
"Dengar kata papa, minta uang sebanyak mungkin. Layani dia sampai puas."
Tatapan gue tajam, tapi amarah itu gue tahan.
Di parkiran depan tepat tulisan Jazz bar.
Di hadapan Joel, papa to the point meminta uang karena pikirnya gue perempuan murahan. Sederhananya, gue dijual. Papa mendorong gue, dompet Joel diambil dan semua isinya yang tidak tahu berapa jumlahnya tapi gue yakin uang itu masih kurang untuk papa.
"Kamu mau tidur berjam-jam sama dia nggak apa-apa, tapi kamu masih berutang dengan saya. Uang ini belum cukup." Papa mengibaskan uang itu ke wajah Joel.
Harga diri gue sudah tidak ada, tidak masalah yang terpenting mama aman. Sekarang waktunya gue menjelaskan pada Joel. Semoga saja dia mengerti.
"Apa itu tadi?" Joel bertanya memandang papa yang pergi.
"Sorry," kata pertama yang gue ucapkan.
"Lo jual diri? Sejak kapan? Dari awal gue udah curiga kalau lo tuh..."
Gue menampar Joel. "Maaf," ucap gue menunduk.
"Baru kali ini gue ditampar sama orang yang merampok!"
Seharusnya gue menahan semua amarah sebelum semuanya semakin kacau dan gue bingung mau membereskannya bagaimana. Siapa yang akan menolong gue? Tidak ada kecuali diri sendiri.
"Gue bakalan ganti uang yang bokap ambil, berapa banyak?" Hanya ini yang terlintas di kepala.
Joel mendekat, "Ikut gue," ucapnya menarik tangan gue.
Mampus, pikiran gue semakin tidak terkendali, bagaimana kalau Joel melakukan hal yang tidak seharusnya? Gue berusaha memberontak tapi nihil, malah dia mengancam gue yang akhirnya dia menang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You
RomanceKeputusan konyol yang berdampak panjang, seandainya, coba saja malam itu Melody menurunkan egonya. Sesalnya begitu dalam. Sekarang ia menyalahkan diri sendiri atas semua hal buruk yang terjadi. "Lo salah satu penyabab mama gue meninggal!" bentak M...