BAB 4-JOEL

37 10 1
                                    

Jazz bar masih menjadi tujuan utama gue untuk menghilangkan perasaan yang menyedihkan ini. Setiap harinya gue pergi sendiri tapi Bastian pasti menyusul. Setiap kali gue mabok cuman dia yang bisa mengendalikan semuanya.

Gue turun dari mobil, menghirup udara kesedihan yang begitu menyiksa.

Mana dompet kamu? Laki-laki yang gue kira-kira umurnya seumuran papa. Dia sibuk menggeledah gue sampai menemukan apa yang dicari. Ini gue dirampok? Terus diam saja? Pandangan gue tertuju sama Melody, perempuan matre. Semua uang cash gue diambil.

"Kamu masih berutang sama saya," ucapnya melemparkan dompet ke badan gue. "Selamat bersenang-senang."

Opini gue tentang semua perempuan mata duit tidak bisa terbantahkan lagi. Siapa pun laki-laki itu, yang gue tahu ia perampok kotor. Otak gue menjadi berpacu untuk membuat kekacauan kepada perempuan mata duitan ini.

Gue kerjaiin nih anak.

"Berapa uang lo? Nanti gue ganti. Bokap gue mabok."

Penjelasannya itu tidak cukup. Gue dirampok dan merasa diperlakukan seperti pelanggan kotor. "Ikut gue." Dan alasan yang masih paling masuk akal itu uang, pokoknya semua perempuan mata duitan. Alasan apapun gue tidak menerimanya.

Malam ini gue bakalan bersenang-senang sesuai kata bokap nya. Perempuan ini harus tahu risiko membangunkan singa yang tidur. Gue tertawa, terlalu berlebihan. Pokoknya gue bakalan buat dia bertekuk lutut.

"Kenapa lo? Baru pertama kali masuk? Sok banget sih." Ketua kelas sok polos, diam, menunduk bahkan berusaha lari dari genggaman gue.

Di sofa panjang, gue berdua duduk.

"Duduk di situ, malam ini lo harus nurut ke gue. Uang yang diambil bokap lo itu nggak seberapa tapi harga diri gue diinjak-injak."

Kedua tangannya mengepal, dia menatap gue. Ekspresi yang sangat jelas kalau perempuan bernama Melody ini menahan amarahnya. Gue duduk di sampingnya, menuangkan minuman beralkohol lalu memaksanya untuk minum. "Minum ini dan kita impas."

"Satu gelas doang, kan?" Akhirnya gue mendengar suara yang penuh keberanian menatang gue kemarin.

"Yah nggaklah, minum cepat. Kata bokap lo bersenang-senanglah," ucap gue menaik turunkan alis.

Memegang dan sekali teguk isi gelas yang berukuran lima centi meter, ia menaruhnya dengan kasar, "Cukup! Kita impas," bentak Melody.

"Eits, mau ke mana? Siapa bilang kalau kita impas? Duduk, sebelum gue buat lo malu." Gue menarik tangannya dengan kasar dan duduk di samping gue.

Kurang apa coba gue? Dengan senang hati menuangkan minuman untuk perempuan yang baru saja dijual papanya. Gelas kedua ini juga sekali teguk. "Wah lo hebat juga yah. Ternyata lo peminum yang profesional." Gue menepuk pundaknya.

"Ini minum lagi," ujar gue menuangkan minuman yang berkadar alkohol cukup tinggi. "Lo nggak bisa tolak, gue tau ini belum seberapa, kan? Manipulatif sekali."

Pipi memerah, keseimbangan badan yang hilang, Melody ambruk setelah meneguk secara perlahan-lahan gelas ketiga. "Ah! Baru tiga gelas udah nyerah? Gue pikir lo profesional." Selain mata duitan, jago akting juga ternyata.

Membiarkan Melody di bar sendiri, itu rencananya namun, Bastian datang dan melihat kejadian ini. Tentu saja gue dapat ceramah. Yang pasti gue tidak akan bertanggung jawab dengan kejadian ini karena Melody sendiri menyerahkan diri.

"Lo apain anak orang?"

Mengangkat kedua bahu gue, "Yah bokapnya yang suruh gue untuk bersenang-senang."

Memegang kerah baju gue untuk yang kedua kalinya Bastian melakukannya. "Lo pikir ini lelucon?" Kali ini ia berbicara serius. "Sudah berapa kali gue bilang jangan libatkan orang lain atas rasa sakit lo itu!" terkejut? Lumayan. Gue dibentak berarti salah, setidaknya itu fakta yang tidak bisa diterima. "Minggir," ucap Bastian mendorong gue.

Kemarin Bastian mengakui kalau menjadi salah satu penggemar Melody, menurut gue ini lebih dari itu. Ia menggendong Melody, membawanya menuju pintu keluar. Gue ikut tanpa di suruh. "Hei, hei," panggil gue mempercepat langkah.

"Lo mau ke mana?"

"Buka mobil lo!" Kali ini suara Bastian semakin keras.

"Eeeh, kenapa di mobil gue?" Gue bertanya setelah Bastian memasangkan seat belt pada Melody.

Bastian menutup pintu mobil, "Antar dia pulang!"

"Tapi gue nggak tau di mana rumahnya?"

"Itu urusan lo."

"Kenapa lo peduli sama Melody? Lo suka?" teriak gue kesal. Kalau saja Bastian bukan sahabat yang gue anggap saudara, wajahnya sudah penuh darah.

"Lo laki, harus tanggung jawab dengan apa yang lo buat! Dengan cara lo seperti ini nggak bakalan mengubah apapun tentang Rana, pacar mata duitan lo itu! Dengar dan renungkan itu. Dan satu lagi nggak semua perempuan seperti mantan lo itu." Gue seperti ditembak berdiri tanpa perlawanan.

"Kalau sesuatu terjadi dengan Melody, gue pastiin bakalan lapor ke pihak berwajib." Bastian begitu tegas mengatakannya sebelum meninggalkan gue.

Seharusnya gue tidak menuruti apa yang dikatakan Bastian, membuka pintu mobil kesalahan fatal. Dan sekarang apa? Yah gue harus mengantarnya pulang atau menunggu sampai kesadarannya kembali. Pilihan kedua menjadi yang terbaik. Pulang ke rumah atau apartemen?

Yah ampun, gue mengajak-ajak rambut. Ada-ada saja cobaan gue.

Demi apapun kali ini gue tidak tahu harus berbuat apa. Otak gue cuman bisa mengendalikan kaki, menginjak pedal gas mobil yang seharusnya ke rumah malah berbelok ke apartemen.

Tubuhnya yang tampak ringan nyatanya seperti mengangkat karung beras berisi enam puluh kilogram. Menggendongnya sampai ke lantai tujuh, semoga tidak ada tulang gue yang patah. Membawanya ke apartemen sebuah kesalahan yang fatal, lebih bodohnya lagi gue membaringkan Melody di kamar.

Gue masih di kamar, menatapnya kesal, menendang kaki tempat tidur.

"Ma, ma, ma jangan tinggalan Melody, ma." Ternyata bukan akting, dia benar dalam pengaruh alkohol.

"Ma, jangan pergi."

"Diam!" Gue menendang kaki tempat tidur. "Rana aja nggak pernah tidur di kasur gue! Nah, lo perempuan gila malah, ah sudahlah." Bodohnya gue masih marah dan pandangan gue tidak lepas dari wajahnya.

Gue sadar akan satu hal, ada sesuatu yang salah, wajahnya agak, bukan tapi ada luka di sudut bibirnya. Sumpah, bukan gue pelakunya. Perlahan mendekat dan gue cek ternyata masih ada lagi luka di leher yang tertutupi oleh rambut panjangnya. Nih perempuan abis berantem?

Gue keluar kamar mengambil handuk kecil dan air hangat, membersihkan darah yang sudah mengering lalu mengoleskan obat merah. Entahlah roh dari mana yang merasuki gue. Oh, ini roh rasa tanggung jawab, sesuai yang dikatakan Bastian. Sebaiknya gue tunggu di luar saja sebelum roh ini semakin gila.

Melemparkan badan ke sofa yang ada di ruang tamu. Gue bingung siapa yang harus dihubungi? Gue menutup mata dan memikirkan langkah selanjutnya. Oh ponsel! Sepertinya dia tidak membawa ponsel.

Ide brilian, gue buat pengumuman di grup kelas saja. "Pengumuman, siapa pun kalian yang kenal Melody tolong jemput dia. Sekarang keadaannya dalam pengaruh alkohol." Gue mengetiknya dan membacanya berulang-ulang dan akhirnya, "Ada yang kenal dengan Melody?"

"Kenapa, Jo?" Setelah lima menit gue menunggu balasan, akhirnya tertera nama Joana.

Siapa ini? Sok kenal banget singkat nama gue. Oh anak temanya papa, gue masih ingat wajahnya saat bertemu di kantor papa. Gue beruntung malam ini.

Gue kembali masuk ke kamar dan memotret Melody yang masih tertidur lalu mengirimkannya ke Joana. "Penderitaan gue berakhir," ucap gue melihat telefon dari Joana.

"Lo apaain teman gue? Kalau sampai kenapa-kenapa, gue laporin ke polisi," bentak Joana menangis.

Bastian dan Joana sama saja! Kalian pikir gue laki-laki apa? 

Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang