Game over! Gue sudah yakin kalau yang ada dibalik pintu adalah Joana. "Selamat mal-" niat hati gue mau menyapa malah dapat tendangan bebas di kaki. "Auh."
"Di mana Melody?" teriknya sambil menangis.
"Oh, santai, santai."
"Gue tanya! Di mana Melody?"
"Eh, lo nggak usah nyolot!"Gue balas berteriak. "Ada di kamar. Di sana." Tunjuk gue.
Serangan yang begitu tiba-tiba, sumpah ini sakit. "Darah." Gue mengusap bibir setelah dapat tonjokan yang keras dari Joana.
"Kalau terjadi sesuatu gue nggak bakal lepasin lo!" Gue yang dipukul, gue juga yang dapat ancaman. Dasar aneh.
Pengecut kalau gue membalas pukulan Joana. Di sinilah gue, di sofa dengan handuk kecil dilapisi es batu. Ternyata bukan anak manja yang segala sesuatunya dilayani bagaikan ratu. "Auh." Sakit sekali, bukan akting dan melebih-lebihkan. Sialan, gue menahan sakit.
Suara tangisan yang semakin jelas terdengar membuat gue merasa tidak nyaman, dan lagi keputusan bodoh kembali gue lakukan. Masuk ke dalam kamar. Joel bego, gue mengutuk diri sendiri setelah mendapat tamparan untuk kedua kalinya dari Joana.
"Stop!"
"Apa lo? Mau pukul? Ayo pukul!" teriaknya memegang tangan gue dan meletakkan di pipinya. "Ayoooo, sakit ini nggak bakal terasa."
Gue mendorong Joana, "Lo kenapa sih? Seharusnya lo berterima kasih ke gue. Coba aja lo bayangin kalau gue biarin dia di bar? Apa yang terjadi? Ayo jawab!"
Joana kembali mendekatkan tubuhnya, "Asal lo tau, seberat apa pun masalah yang dihadapinya, tempat itu bukan tujuannya! Dengar itu baik-baik." Tunjuk nya sembari mengertakkan gigi.
"Pak Slamet bantu saya," ujar Joana dengan penuh air mata di pipinya.
"Neng, bagaimana kalau kita menunggu sampai neng Melody sadar?" Saran laki-laki yang datang bersama Joana dengan ragu-ragu. Diam itu yang bisa gue lakukan dan memikirkan apa maksud dari perkataan Joana.
"Mas, boleh kami di sini sampai neng Melody sadar?" pintanya pada gue dengan mata yang berbinar-binar. Kenapa kedua orang yang datang ini menampilkan kesedihan? Melody baik-baik saja.
"Terserah." Gue keluar dan kembali mengompres bibir sekaligus pipi.
Menyandarkan tubuh, menyalakan televisi, tentu saja dengan handuk kecil yang membantu gue menghilangkan rasa nyeri. Tidak ada acara yang menarik, gue melempar remote. Bangsat, gue masih tidak terima perlakuan Joana tapi gue tidak bisa membalasnya. Sama saja gue langgar prinsip sendiri.
"Mas, maaf, dan terima kasih." Mendengar kedua kata yang diucapkan buat hati gue jadi tenang dan sejuk. Gue tatap mata laki-laki yang datang bersama Joana, "Sama-sama."
"Saya pak Slamet, sopir neng Joana."
Sopan sekali. "Silakan duduk," gue mempersilahkan.
Baru kali ini gue mengoceh dengan orang yang baru pertama kali bertemu. Membela diri, itu yang lebih tepat. Menjelaskan semua kronologi yang terjadi antara gue dan Melody mulai dari chat menagih tugas sampai bokapnya merampok.
"Pak." Panggil gue tanpa menunggu jawaban dari ocehan gue. "Ini sebenarnya kenapa?" Semoga pak Slamet mengerti maksud pertanyaan gue.
"Maaf mas, sekali lagi maaf."
"Eh nggak perlu minta maaf." Apa pertanyaan gue tadi salah? Mungkin kurang jelas dan sulit dimengerti. "Pak, kenapa Joana nangis? Gue kan nggak buat Melody luka atau lakukan hal yang buruk. Malah gue di tonjok."
"Ini bukan wewenang saya untuk jelasin, mas."
"Terus siapa? Joana? Yang ada gue digebukin lagi." Bukannya gue takut tapi menghindari kekacauan.
"Yang mengambil uang mas Joel itu papanya neng Melody." Pak Slamet menarik napas.
"Terus apa, Pak?" Gue bertanya tidak sabar.
"Semua keadaan baik-baik saja sebelum perempuan lain memasuki rumah Melody, singkatnya selingkuhan." Buset, kalimatnya pak Slamet benar-benar buat gue terkejut. "Yah, semuanya berantakan. Bisnis hancur."
"Karma," ucap gue yang menatap pak Slamet menunggu melanjutkan ceritanya. Namun, yang gue harapankan tidak sesuai. "Pak?" Gue kembali memulai percakapan. "Kenapa Joana nangis?" Di mana letak kesalahan pertanyaan gue? Jawaban yang gue harap sudah ada tapi sayang sekali masih sama saja. Atau mungkin ini sudah larut malam jadi sulit untuk berkonsentrasi. Gue melihat jam dinding, astaga ini sudah hari berikutnya, berapa jam berlalu begitu cepat. Jadi wajar saja jawaban pak Slamet tidak nyambung.
Tatapanya ke gue dengan mata berbinar-binar menahan air mata makin membuat gue penasaran. Seharusnya rasa seperti ini gue singkirkan sebelum terlibat lebih jauh, sayangnya otak dan hati gue tidak bisa bekerja sama.
"Pak? Kenapa? Mau nangis? Sumpah demi apapun itu, gue nggak lakuin apa-apa sama Melody," ujar gue berdiri. "Kalau Melody udah sadar, gue yang bakalan bawa dia ke rumah sakit untuk visum, sumpah."
"Mas, duduk dulu." Pak Slamet menarik tangan gue. "Saya percaya mas tapi yang buat kami bersedih," ucapnya bergetar lalu diam.
Satu, dua, ayo jawab. Sudahlah gue akhiri saja pembicaraan yang tidak ada ujungnya ini, dua jam gue duduk dengan pembicaraan itu-itu saja. Bodoh, kata itu cocok untuk gue. "Pak, kalau mau istirahat, tidur di sofa aja," ucap gue menyentuh pundak pak Slamet yang masih menahan air mata.
"Nggak mungkin." Melody, itu suaranya gue masih hapal. Gue kerasukan roh penasaran lagi, melompati sofa, membuka pintu kamar. "Wow," ujar gue melihat Melody menangis sejadi-jadinya. Memukul diri sendiri.
"Hei, tenang. Gue nggak apa-apain lo kok." Roh apa lagi ini? Gue memegang kedua tangan Melody, "Sumpah demi apapun gue cuman nyuruh lo minum, itu aja, nggak lebih. Sumpah." Kali ini gue bersungguh-sungguh menjelaskannya. Melody menampar gue. "Auu." Joana juga menampar gue. Sakit, sakit sekali, tenaga mereka super sekali.
Gue diam. Pak Slamet menarik gue dari tengah kedua perempuan yang menampar gue tanpa rasa takut. "Pak, sumpah." Masih berusahan menjelaskan.
"Mama Melody meninggal." Pak Slamet menunduk.
Pak Slamet bangsat.
"KENAP NGGAK BILANG DARI TADI PAK?" kesal gue.
"Nggak mungkin, nggak mungkin. Lo pasti bercanda." Melody berteriak.
"Sudah, sekarang kita harus ke rumah sakit, nyokap udah nunggu putri cantiknya ini." Joana memeluk Melody, menyeka air mata.
"Jam 3 dini hari, mamanya neng Melody berpulang," jelas Pak Slamet.
"Sekarang di mana? Biar gue ikut."
"Pak Slamet, tolong bantu," pinta Joana yang sedang membantu Melody berdiri.
"Biar gue aja pak." Gue menahan pak Slamet.
"Lo diam di situ," teriak Joana. "Jangan ke sini." Di sini kesalahan gue apa? Malahan gue mau bantu mereka? Kurang baik apa?
Pak Slamet menarik tangan gue, "Sudah mas, biarkan saya saja."
Seharusnya gue tetap di apartemen saja yang ada malah mengikuti mereka dari belakang, gila? Sudah pasti. Kendali atas tubuh dan hati gue seperti bukan gue yang sebenarnya. "Sebaiknya lo balik ke apart lo aja." Joana mendorong gue.
"YAH GUE SALAH APA?"
"LO PIKIR SENDIRI!"
"RIBET BANGET!"
"LO YANG BUAT NYOKAP GUE MENINGGAL." Jawaban apa yang harus gue berikan? Kenapa gue yang menjadi penyebabnya? Seumur hidup gue belum pernah bertemu dengan nyokapnya. Lantas kenapa salah gue?
"Minggir."
Gue menarik pak Slamet, "Apa ini?"
Diam dan meninggalkan gue. "Bodoh amat, dasar orang gila. Pasti ini semua akal-akalan Melody untuk porotin gue. Dasar perempuan mata duitan," kesal gue menendang ban mobil yang ada di basement.
SIALAN!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You
RomanceKeputusan konyol yang berdampak panjang, seandainya, coba saja malam itu Melody menurunkan egonya. Sesalnya begitu dalam. Sekarang ia menyalahkan diri sendiri atas semua hal buruk yang terjadi. "Lo salah satu penyabab mama gue meninggal!" bentak M...