Satria's
"Tadi saya dihubungi Pak Raditya untuk menyampaikan pesan ke Bapak. Beliau pesan kalau sudah reservasi di The Secred Coffee & Resto untuk jam delapan malam." Ruwi menunjukkan pesan yang dikirim Raditya siang tadi. Gue mengangguk saja karena hari ini gue sama sekali belum sempat untuk memeriksa ponsel.
Kalau gue sibuk–iya memang kapan sih gue nggak sibuk? Maka secara otomatis semua hal yang ada di luar kuasa gue akan menjadi tanggung jawab Ruwi, asisten gue. Entah masalah pekerjaan atau hal yang sifatnya pribadi sekalipun. Maka sudah nggak heran kalau beberapa teman dan keluarga lebih pilih menghubungi Ruwi dibandingkan gue.
Katanya gue terkenal sebagai orang yang susah dihubungi dan susah ditemui. Ya jelas! Buat urusan sesimpel makan siang aja kebanyakan diisi dengan makan siang bisnis. Jarang sekali gue bisa makan dengan tenang tanpa harus membahas urusan pekerjaan. Benar, gue mengakui fakta bahwa diri gue ini memang orang yang susah dihubungi dan susah ditemui. Kalau ingin bertemu, silakan hubungi Ruwi.
"Saya ada jadwal apa setelah ini?" gue melirik jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Padahal gue baru saja keluar dari ruang meeting dan misuh-misuh di hadapan para dewan direksi, lalu sekarang gue sudah menanyakan agenda selanjutnya pada Ruwi. Wanita berusia tiga puluh lima itu menyimpan ponselnya dan ganti menyalakan iPad. "Nanti kalau dewan direksi ada yang hubungi kamu, pokoknya kamu atur aja lah gimana. Saya nggak mau diganggu malam ini."
Pekerjaan yang selama ini gue lakukan–yang orang lain bilang mudah karena gue tinggal meneruskan–realitanya bukan hal yang benar-benar mudah. Orang bilang perjalanan karir gue cemerlang karena ada keluarga yang siap sedia 'membantu'. Orang yang mereka sebut siap membantu inilah–yang juga–membuat langkah gue terseok-seok mengejar ketertinggalan.
Pengalaman kerja selama bertahun-tahun, dedikasi yang sepenuhnya gue berikan kepada perusahaan–rupanya nggak ada seujung kuku dari yang orang-orang harapkan tentang gue.
Puncaknya–ketika dewan direksi menuntut gue melakukan serangkaian usaha lain demi kepentingan perusahaan–berdalih sebagai tolak ukur apakah gue 'pantas' naik di tingkat yang lebih tinggi lagi. Gue merasa usaha yang sudah gue lakukan sebelumnya benar-benar nggak ada nilainya sama sekali. Detik itu juga, emosi yang mencoba gue tahan meledak. Di waktu yang sama, kesopanan gue terjun bebas.
"Jadi gimana? Jadwal saya apa setelah ini?" gue kembali berulah dengan bertingkah nggak sabaran.
"Sabar. Jadwal Pak Satria nih banyak, saya nggak bisa hafal semuanya sekaligus. Ini iPadnya juga masih load ... oh! jam enam ini Bapak ada agenda makan malam sama Pak Bagastama. Setelah itu kosong. Kalau besok–"
"Bentar! Ini dalam rangka apa makan malam sama Pak Bagastama?" seingat gue, sejak perjodohan di antara gue dan anaknya gagal, keluarga kami hampir nggak pernah ada komunikasi. Gue juga sudah lama nggak bertemu dengan keluarga Pak Bagastama karena keluarga kami memiliki ranah karier yang berbeda dan nggak saling berhubungan. "Orangtua saya ada hubungi kamu nggak tentang Pak Bagastama ini?" melihat keterdiaman Ruwi–yang butuh setidaknya dua menit untuk bersuara–gue bisa menyimpulkannya sendiri.
"Maaf Pak, kalau ini saya kurang tahu. Sekretaris Pak Bagastama juga nggak berpesan apa-apa saat minta diaturkan pertemuan pribadi dengan Pak Satria. Orangtua Bapak juga nggak menghubungi saya tentang ini." Ruwi menjawab gugup, tatapannya berpendar ke segala arah, dia enggan menatap gue. Di sini, dari tempat gue duduk, jemari gue mengetuk permukaan meja secara teratur. "Maaf, Pak." tiba-tiba Ruwi meminta maaf, kepalanya tertunduk dalam. Jelas! Pasti dia sudah sadar dimana letak kesalahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N E X P E C T E D
General FictionPada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa cukup.