UN-11

4 2 0
                                    


Karenina's


Aku mendesah kesal menyaksikan pemandangan di depan mata. Sejak awal, sejak menduduki salah satu kursi di meja bar ini–yang kuperkirakan sudah lebih dari tiga puluh menit yang lalu–pemandangan itu betul-betul mengganggu ketenangan yang kuciptakan.

Aku meraih segelas espresso yang masih utuh, menyesapnya sedikit. Rasa pahit menjalar ke seluruh rongga mulut. Keningku ganti menyernyit. Sial, pahit sekali!

"Sebenarnya Mas Radit itu ada perlu apa?" rupanya aku nggak benar-benar bisa menghiraukan keberadaannya. Rupanya, betapa aku kesal dengan sikapnya, aku tetap peduli dengan keresahan yang dia rasakan. "Tentang Tatjana? Apa kita masih perlu ngomongin soal dia ini, Mas?"

Kenapa rasanya masih sama ya? Kenapa aku masih sama muaknya dengan dulu saat menyebutkan nama perempuan itu? Padahal kalau dipikir-pikir, bertahun-tahun sudah berlalu. Waktu yang kulalui itu bukan sebentar. Di sepanjang waktu itu sudah banyak hal yang kulalui. Tapi kenapa satu hal ini, satu hal yang seharusnya bisa kulakukan–kenapa tidak bisa kulakukan?

Memaafkan.

Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas, betapa aku sangat amat membencinya.

"Dek ..." kalimatnya hanya menggantung. Raut wajahnya serba salah. Sebulan berlalu, tapi kami berdua sama sekali belum pernah membahasnya lagi. Mulutku membisu, isi kepalaku bergemuruh.

Tatjana ... apa aku benar-benar sudah kalah?

Sisa cairan hitam pekat itu kutenggak habis. Kali ini rasa pahitnya menjalar ke seluruh bagian tubuh. "Mas ... aku akan diam. Aku nggak akan ikut campur lagi tentang apapun keputusan Mas Radit." aku ingin bilang bahwa, "Soal perasaanku itu ... biar itu jadi urusanku aja, ya, Mas?" aku bisa melihat raut terluka dari wajah Mas Radit. Tapi saat ini satu-satunya hal yang ingin kupedulikan hanyalah diriku sendiri. Lihat kan? Aku itu cuma seonggok manusia egois yang tidak bisa melihat saudaranya bahagia.

Saat Mas Radit mendekat, menarik satu kursi di sisiku, aku hanya menunduk–menatap gelas espresso yang isinya telah berpindah tempat. Keputusan untuk tidak lagi ikut campur itu bukan hal yang mudah. Sebagian diriku masih ingin menentangnya. Tapi beberapa hari ini aku seolah diingatkan. Diingatkan bahwa suaraku nggak akan berpengaruh apa-apa. Tamparan lain yang lebih menyakitkan adalah bayang-bayang wajah Tatjana tengah menertawai sikap kerasku–yang tidak membuahkan hasil apa-apa.

"Dek ..." Mas Radit ikut menatap gelas yang menjadi satu-satunya tatapku berpaku. Hanya gumaman samar yang keluar dari mulutku. "Dulu ... Mas berpikir kalau kamu nanti pasti akan luluh dengan sendirinya. Mas pikir keputusan yang Mas buat ini nggak akan melukai kamu sampai sebegini besarnya." laki-laki itu menghembuskan napas berat. Kurasakan sebelah lengannya melingkari bahuku dengan erat. Lalu kudengar ia menggumamkan kata maaf yang entah sudah berapa kali ia kumandangkan. " ... maaf ya, Dek. Maaf karena Mas pernah menyepelekan perasaanmu. Maaf karena Mas nggak benar-benar mempertimbangkan perasaanmu sebelum mengambil keputusan sebesar ini."

Kepalaku semakin tertunduk. Di meja itu ada beberapa titik air yang jatuh.

Tangisan apa ini, Na?

"Loh, ditungguin dari tadi kok malah asyik berdua!" aku buru-buru mengusap air mata, Mas Radit mengencangkan rangkulannya.

"Mami sama Papi keberatan nggak kalau berangkat berdua dulu? Nanti aku sama Dek Nina nyusul belakangan supaya Mami sama Papi nggak kelamaan nungguin kami siap-siap."

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang