UN-9

20 3 0
                                    

Satria's


Rasanya?

Gimana gue harus menjelaskan hal ini?

Sudah sepantasnya kalau gue merasa terkejut kan, ya? Gue yang semula hanya berniat membantu seorang perampuan–yang gue duga memang butuh bantuan–malah berujung seperti ini. Gue yang semula sempat berpikiran konyol bahwa dia hendak mengoleskan minyak kayu putih lagi di pelipis gue, hanya karena tubuh gue diminta untuk sedikit menunduk. Mana gue sangka kalau tujuannya justru menyatukan jarak kami.

Persis seperti orang dungu, gue cuma bisa terpaku di tempat saat bibir Nina membungkam bibir milik gue. Nggakcukup kehilangan fokus, gue turut kehilangan napas–karena rupanya sejak tadi guepun juga menahan napas.

Gue nggak tahu bagaimana harus merespon ini semua.

Belum sempat gue berpikir, tubuh gue lebih dulu terkesiap saat merasakan bibir lembab Nina menekan semakin erat. Napas kami menyatu. Lalu secara bergantian bibir atas dan bawah gue dikulum dalam lumatan basah penuh hasrat.

Dalam diam, gue turut meresapi rasa baru yang diberikan oleh Nina. Bagaimana bibir basahnya–yang demi Tuhan sangat lembut itu terus bergerak menjelajah. Bagaimana rasa panas mulai mengambil alih akal sehat gue saat tubuhnya bergerak semakin merapat, memangkas jarak. Diam-diam, gue menikmati sensasi yang diberikan oleh Nina. Sehingga saat tubuh itu menjauh, gue didera oleh rasa kehilangan.

Nina berdehem singkat dengan wajah berpaling. Cekalan tangannya di lengan gue mengendur.

"Lagi, nggak?" tunggu! Siapa yang bilang itu barusan?

Nggak cuma Nina, gue sendiri kaget dengan kalimat yang rupanya keluar dari mulut gue sendiri. Apa tadi yang gue bilang? Lagi nggak? Oh Man! Yang benar aja lo, Satria!

Tadi lo diam aja saatdicium, dan sekarang lo minta apa Satria? OH GOD! 

Gue spontan berdecak, membuat sosok perempuan yang masih berdiri di tempat semula berjengit kaget. Nina sudah akan menarik lepas tangannya yang mencengkeram sebelah lengan gue, tapi berhasil gue tahan. Nggak bisa, nggak bisa hanya berakhir begini. Nina yang lebih dulu mencium gue, seharusnya dia nggak keberatan kalau gue melakukan hal yang sama. Jadi tanpa menunggu lama, gue kembali merapatkan tubuh kami. Gue cuma perlu menunduk sedikit. Bibir kami kembali bertemu.

Untuk ukuran orang yang cukup bisa menahan diri–kayaknya, karena sekarang gue mulai nggak yakin–gue mencium Nina seperti orang kelaparan. Menggebu-gebu, tergesa-gesa, seolah kalau gue nggak melakukannya gue bisa mati saat ini juga.

Gue membuka bibir, melumat bibir atas Nina. Nggak, nggak cukup. Gue ganti melumat bibir bawahnya, menyesapnya kuat, sampai sosoknya melengguh dan mencengkeram erat kedua lengan gue. Tapi gue masih belum merasa cukup, gue malah semakin kehausan.

"Mas ..." Nina terengah-engah disela ciuman kami. Raut wajahnya yang pasrah membuat gue mencengkeram kedua sisi wajahnya. Memperdalam ciuman. Bibir gue dan Nina saling terjalin, lidah kami turut bertaut.

"Na––" Saat tangan Nina bergerak ke atas, mengusap dada gue dari balik kemeja, darah gue berdesir hebat. Gue ingin lebih. "Buka, Dek." bibir gue menyasar rahang dan berhenti di cerukan lehernya sambil membisikkan bahwa tidak apa-apa jika ia membuka kancing kemeja gue. Karena satu-satunya hal yang ingin gue lakukan sekarang adalah menelanjangi tubuh kami berdua. Dan sepertinya Nina juga merasakan hal yang sama–karena sama sekali nggak menolak saat gue melucuti kaus yang melekat erat di tubuh indahnya.

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang