UN-4

11 3 0
                                    

Karenina's



"Mbak Na! Ini hp-mu dari tadi bunyi terus. Angkat dulu deh, kayaknya penting."

Suara Jessica yang lebih nyaring dari biasanya memecah konsentrasi. Mata yang semula fokus, tangan yang bergerak gesit tapi tetap hati-hati, seketika berhenti bekerja. Aku membuang napas kasar. Setelah berbulan-bulan nggak ada satupun jaringan signal yang 'nyangkut' di ponselku, sekarang mendadak benda pipih itu bisa berfungsi seperti seharusnya. Bukan senang, aku dibuatnya berang.

Di tempat ini, ponsel nggak bisa diandalkan. Signal di sini sungguh jelek, nggak bisa diharapkan sama sekali–makanya aku heran kok bisa sekarang ada signal. Benda itu cuma akan berguna kalau kami berniat mengambil gambar atau video–kalau kepepet, karena aku pribadi lebih mengandalkan Sony Venice-2 daripada kamera ponsel biasa.

Ya ya ya ... aku tahu ponsel sekarang sudah jauh lebih oke soal kualitas kamera. Tapi biar kuperjelas, untuk orang-orang yang suka detile kecil mengenai kualitas gambar–aku–kamera ponsel adalah pilihan terakhir yang akan kugunakan kalau sudah betul-betul kepepet.

"Mbak Nina, denger nggak sih Mbak?" Jessica makin ngegas, padahal suaranya tadi sudah cukup melengking.

"Fuck! Naik sana Nina, ini biar saya selesaikan sendiri!" suara di sebelahku–Sylvia–rupanya jauh lebih melengking daripada suara Jessica. Nggak cukup dengan nada tinggi dicampur kalimat-kalimat umpatan yang sungguh nggak enak didengar, mata Sylvia pun ikut melotot garang.

"Sylvia right, kamu harus segera naik dan angkat telepon." Daniel yang sejak tadi diam di balik Sony PMW F-55 CineAlta ikut berkomentar. Ekspresi wajah Daniel biasa saja, tapi aku bisa tahu kalau dia juga terganggu dengan suara Jessica. Syukur saja dia nggak ikut-ikutan menyumpah serapah seperti Sylvia.

"Saya naik dulu deh, keburu diseruduk banteng." kalimat itu menimbulkan kekehan kecil dari Daniel, sedangkan Sylvia sudah kembali berkutat dengan dinding bebatuan di hadapannya. Tanpa bicara, Daniel mengedik pada tangga besi tak jauh dari kami. Menyuruhku segera naik dan membungkam Jessica.

Perempuan berusia 29 tahun itu langsung menyodorkan ponsel begitu aku tiba di hadapannya. Selain suaranya yang sangat nggak bersahabat, wajahnya nggak jauh berbeda. Bibir Jess mengerucut sebal, matanya menyorot tajam, tangannya memegang ponsel milikku yang masih bergetar panjang. "Sebentar, Jess." kedua tanganku masih sibuk melepas safety belt yang membelit tubuh. Si-Penelepon-itu masih bisa menunggu.

"Thanks ya, Jess. Sorry jadi ganggu, nanti saya silent." aku meraih benda persegi itu dari tangan Jessica. Mengusap icon hijau lalu mendekatkan ke telinga. "Sebentar ..." ujarku pada si penelepon.

"Santai aja, Na. Lagian nggak ganggu sama sekali kok, cuma takutnya itu telepon penting makanya saya minta Jess untuk panggil kamu." aku mendongak–tersenyum kecil–dari bawah flysheet nggak jauh dari posisiku berdiri Yudistira menyahuti percakapanku dengan Jessica. Laki-laki itu awalnya sedang jongkok–merakit drone–sebelum akhirnya menyerahkan remot control kepada Andreas lalu menghampiriku.

Yudistira mengambil alih safety belt yang masih kupegang. Membuatku menatapnya bingung. "Saya mau gantiin Daniel sebelum orangnya ngomel-ngomel nggak jelas." oh ... ngomong dulu dong, jangan langsung ambil dan bikin bingung.

"Jess, kamu turun juga ke bawah ya. Gantiin saya untuk bantu Sylvia." mumpung ada Yudistira yang mau turun ke lubang dengan kedalaman sekitar 5 meter itu. Seenggaknya Yudistira bisa bantu Jessica memasang safety belt secara aman. Tapi wajah Jessica nggak seperti yang kuharapkan. Jessica kelihatan keberatan. "Kenapa Jess?" tanyaku.

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang