UN-6

9 3 0
                                    

Karenina's



Langkahku berhenti mendadak saat tiba di depan meja resepsionis. Mataku mengerjab-ngerjab pelan, memastikan bahwa yang kulihat itu memang betul orang yang kukenal atau bukan. Pasalnya, ini bukan Jakarta, bukan juga kota besar, sehingga kemungkinan kami bisa bertemu di sini sangatlah kecil.

Iya, kan?

Seharusnya aku nggak bertemu dengan orang yang aku kenal di tempat ini–di salah satu resor yang letaknya berada di pulau terpencil.

Tapi ... dunia kayaknya memang betulan sempit.

"Ada yang bisa dibantu, Ibu Karenina?" aku spontan menoleh dengan raut terkejut. Memastikan bahwa perempuan ber-name tag Anita itu betul-betul sedang bicara kepadaku. "Kemarin saya yang bantu Ibu ke kamar. Ibu lupa, ya?" lanjutnya, ia tersenyum kecil. Saat aku masih juga terdiam dan nggak merespon apa-apa selain senyuman bersalah, Anita kembali berbicara. "Jadi gimana, Bu? Ibu ada perlu apa?"

"Nggak ada kok, Anita. Saya tadi mau ke Tropical." kataku, menyebutkan nama restoran yang ada di lantai dasar E'A Resort. Anita mengangguk paham.

Dari Anita, tatapanku beralih ke sofa loby yang jaraknya nggak begitu jauh dari tempatku berdiri. "Mau saya temani ke sana, Bu?" Anita kembali berbicara dan kurespon dengan gelengan singkat.

Letak Tropical hanya beberapa langkah dari sini. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas bagaimana suasana di dalam restoran itu karena menggunakan kaca tembus pandang sebagai penyekat antara restoran dengan loby E'A Resort. Tawaran Anita untuk menemani ke sana jelas kutolak.

"Nggak usah, Nit. Kayaknya saya nggak jadi ke sana." beberapa orang laki-laki yang mengisi area sofa loby membuatku mengurungkan niat untuk ke Tropical. Menghadap ke Anita aku menunjuk loby. "Saya mau duduk di sana aja."

Dengan mata menyipit, aku mendapati seorang security memberikan sebotol air mineral ke salah satu lelaki yang duduk di sofa. Meskipun nggak begitu jelas, aku bisa mengenali siapa laki-laki itu dengan hanya melihat perawakan tubuhnya. "Eh, kamu mau kemana, Anita?" keningku mengernyit saat dia keluar dari meja resepsionis dan berdiri di sisi tubuhku.

"Ayo, Bu, saya temani ke loby." aku semakin mengerutkan kening. Apa Anita–semua pegawai front office–harus memperlakukan tamu resor sedemikian rupa?

Pasalnya aku bukan tipe orang yang harus selalu dilayani. Beberapa hal lebih nyaman kulakukan sendiri daripada harus meminta tolong orang lain. Kalau 'melayani' tamu dengan 'sebaik mungkin'–seperti yang dilakukan Anita–adalah hal lumrah yang memang seharusnya dilakukan, aku justru merasa terganggu. Diperlakukan istimewa seperti itu membuatku merasa bahwa ruang gerakku dibatasi.

"Saya bisa sendiri kok, Nit. Kamu mending balik ke mejamu aja." Anita tampak enggan mendengarkan. Tapi setelah tanganku menepuk pelan lengannya dan berkata tidak apa-apa Anita baru menurut untuk kembali ke mejanya.

"Udah bisa jalan belum, Sat? Atau masih pusing? Lo mau ke toilet dulu nggak, siapa tau mau muntah lagi." pertanyaan beruntun itu semakin jelas terdengar. Spontan saja kakiku bergerak semakin cepat, setengah berlari.

"General Manager-nya kemana? Coba saya tolong dipanggilkan Pak Dito." salah satu security yang diajak bicara buru-buru mengeluarkan HT dari saku celana belakang. Raut wajahnya sangat panik saat lelaki yang minta dipanggilkan General Manager resor ini sama sekali belum mengalihkan tatapannya.

Perangai laki-laki itu sama sekali nggak berubah. Membuatku tanpa sadar mengulas senyum tipis.

"Mas Ananta?" aku berdiri di sebelah security. Dilihat dari caranya menatap, Ananta sama sekali nggak berusaha menutupi raut terkejutnya. "Ada apa, Mas?" tatapanku beralih pada sosok lain yang terkulai lemas lengkap dengan wajah pucat di sofa sebelah Ananta. Sosok itu tampak sangat mengenaskan.

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang