Karenina's
"Gue baru pertama kali ketemu sama Masena, gila ganteng banget anjir!" Tsania menggebrak meja. Kalau nggak heboh dan hobi cari perhatian memang bukan Tsania namanya.
"Kemarin saat lo stalk ig-nya lo juga bilang begitu loh, San." Anyelir mengomentari sikap temannya yang dirasa agak berlebihan.
Tsania kembali menggebrak meja. Matanya menyorot antusias. "Itu dia, Say! Foto yang di ig itu nggak ada apa-apanya sama wajah asli dia! Sumpah ya, kok bisa sih ada manusia seganteng dia?"
"Ya bisa lah, namanya juga laki-laki. Masak mau cantik sih, San." Tsania kelihatan kesal dengan respon Anyelir. Ia pun beralih pada Narada yang duduk anteng di kursinya.
"Nara, Nara ... menurut lo Masena ganteng banget nggak?" tanyanya. "Jujur, lo harus jawab dengan jujur!" todongnya, menghiraukan raut ogah-ogahan yang dibuat Narada. Selain hobi cari perhatian, perempuan berusia 28 tahun itu juga memang hobi merecoki teman-temannya tentang hal-hal yang menurutku nggak penting.
"Ganteng." sahut Narada cuek. "Tapi belum tentu dia mau sama lo ya, Sania!" raut bahagia Tsania seketika luntur. Bibirnya mengerucut. Mulutnya menggerutu jengkel.
"Kan Sania udah sama Satria, Ra. Ngapain juga ngarep sama Masena?" Hmmm?
Aku berdehem, "Memangnya hubungan lo sudah sejauh mana sama Satria, San?" aku menyambung obrolan setelah sejak tadi hanya jadi pengamat. Bilang aja mau cari informasi kan kamu, Na? "Gue kan udah lama nggak ketemu kalian, wajar 'kan kalau gue nanya karena ketinggalan informasi?" imbuhku, menutupi kepanikan yang tiba-tiba menyerang karena tatapan menyelidik Narada kini mengarah padaku.
Jangan goblok, Nina! Ingat, di sini ada Narada!
Sudah bener nyimak aja, malah ikut-ikutan nanya!
Iya, itu Satria yang sama. Daneswara Satria Widjaja. Sosok yang kutemui di E'A Resort, yang juga adalah sahabat dekat kakakku.
Helaan napas kasar Tsania mengalihkan tatapan menyelidik Narada dariku. Diam-diam aku bisa bernapas lega.
"Gue masih berusaha mengenal Satria, sih. Susah banget itu orang dideketin astaga! Belum lagi orangtuanya! Hhh ... kalau nggak mikir gue tertarik banget sama anaknya, ogah gue berurusan sama Ibu Dyah!" keluhnya dengan suara yang dibuat sepelan mungkin.
"Loh ... kalian ini kan dijodohin sama orangtua masing-masing, seharusnya fokus lo cuma satu 'kan berarti?–mendekati Satria." Anyelir ikut berbisik, tubuhnya condong ke depan. Kami–mereka–jadi persis seperti geng ibu-ibu komplek tukang gosip.
Tsania menelungkupkan kepalanya dengan gerakan dramatis. Keningnya ia jedukkan di atas meja. "Seharusnya begitu, kan, Nye?" Tsania menegakkan tubuh, mencari persetujuan. Dia lalu menoleh ke kanan dan kiri sebelum melanjutkan ucapannya yang belum selesai. "Tapi rupanya nggak semudah itu anying! Gue pikir ya ... ketika gue akan dijodohin sama dia ini, gue akan terhindar dari yang namanya drama keluarga–maksudnya gue nggak harus se-effort itu cuma untuk deketin calon mertua–karena mereka sendiri yang mau jodohin gue sama anaknya. Iya, kan?" hal itu diangguki oleh Anyelir. Narada dan aku hanya mendengarkan. "Ini tuh nggak gitu ... orangtua sama anak sama-sama susah dideketin. Sama aja bukan perjodohan ini mah namanya!"
"Lihat postingan ig lo kapan hari itu, gue pikir hubungan lo sama Satria udah tinggal diresmikan aja ..." Narada mengingat kembali postingan instagram Tsania dua bulan yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N E X P E C T E D
General FictionPada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa cukup.