Satria's
"Ini permintaan dukungan politik datangnya dari Bapak Lukito selaku investor di Widjaja Electronic, betul?" Bapak Djati menatap satu persatu dewan direksi yang duduk mengelilingi meja Classic Room–ruang rapat besar khusus jajaran dewan komisaris dan direksi Widjaja Corporation.
Dari tempat gue duduk, gue bisa melihat kalau Ibu Rukmana mengangguk singkat. "Betul, Pak."
"Kalau nggak dituruti kira-kira ancamannya apa Bu?" ya memangnya apa lagi? Gue sampai hafal kalau pertanyaan semacam ini–yang selalu keluar dari mulut Pak Djati–cuma bentuk basa-basi daripada nggak ada yang ditanyain sama sekali.
Lagipula nggak bisa apa ya langsung ke inti pembahasan daripada kebanyakan basa-basi begini? Sekedar informasi aja, seharian ini waktu gue cuma dipakai untuk rapat ini aja padahal ada hal lain yang gue rasa jauh lebih penting untuk gue lakukan–tentunya untuk menunjang karier gue di masa depan. Sayangnya gue nggak tahu kalau rapat hari ini akan berlangsung seenggak jelas ini, nggak seperti biasanya. Kalau nggak kan gue bisa skip aja meskipun ujung-ujungnya tetap dapat teguran dari dewan direksi.
Sebetulnya gue nggak merasa bahwa rapat yang gue hadiri ini membuang-buang waktu. Nggak begitu. Hanya saja gue punya prioritas lain yang sepertinya bisa didahulukan ketimbang hadir di sini dan nggak melakukan apa-apa selain mendengarkan. Ya memangnya gue bisa apa di sini? Tugas gue cuma dengerin, sesekali kasih argumen–itupun ujung-ujungnya argumen gue pasti dibantah dan berujung dikatain arogan.
"Seperti yang sudah-sudah ... ancamannya adalah menarik dana investasi yang ada di Widjaja Electronic." mendengarnya hanya membuat gue bisa menghela napas lelah. Basi.
"Rupanya ancamannya masih sama seperti yang sudah-sudah. Saya pikir ada ancaman lain yang lebih besar." Sindir Pak Djati yang membuat gue menahan diri untuk nggak memutar bola mata karena sikap pura-pura nggak tahu presiden komisaris itu.
Udah tua masih aja senang main sandiwara.
"Dampaknya cukup besar ini Pak kalau Pak Lukito benar-benar menarik dana investasi di perusahaan. Kita semua tahu bahwa investasi yang diberikan Pak Lukito ini persentasenya cukup besar di Widjaja Electronic." Dari meja seberang, Pak Hartanto menyahuti dengan gusar. Gue gagal untuk nggak mendengkus–malah diladeni lagi.
"Iya kalau itu saya tahu. Semua orang juga tahu. Terus solusinya apa? Itu loh yang dibahas." lepas dari Pak Hartanto, gue ganti memperhatikan Pak Djati berkoar-koar dari balik kursi kebesarannya. Dia sendiri yang mulai, dia sendiri yang kesal. "Gimana Pak Daneswara? Sepertinya ada yang mau disampaikan." yeah, giliran gue sudah datang. Semua pasang mata pun nggak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Gue nggak mengada-ngada tentang sesulit apa posisi gue di perusahaan. Dimusuhi oleh dewan direksi nggak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang gue hadapi saat ini.
Semua orang yang ada di ruangan ini adalah orang-orang yang akan selalu menguji kemampuan gue di setiap ada kesempatan. Dan kesempatan untuk memberlakukan gue seperti orang yang nggak punya kemampuan apa-apa akan selalu ada. Kalau ada situasi dimana gue merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini, situasi semacam ini adalah jawabannya.
Jajaran dewan direksi sampai presiden komisaris adalah orang yang sangat berjasa untuk membuat gue menyadari bahwa usaha sekeras apapapun dan berapa waktu yang gue dedikasikan untuk perusahaan, gue tetap nggak akan bisa memenuhi ekspektasi mereka.
Gue berdehem pelan, kebanyakan ngelamun bikin gue lupa mau ngomong apa.
"Setahu saya Widjaja Corporation tidak senang terlibat di masalah-masalah politik seperti yang Pak Lukito minta. Ya ... saya tahu kok kalau itu sebetulnya hanya citra yang dibentuk oleh perusahaan–memangnya ada perusahaan yang nggak ikut-ikutan berpolitik kalau mau usahanya nggak kena jegal sana sini?" gue menjeda sejenak untuk membaca situasi, "Untuk Pak Lukito ini ... Mumpung di sini formasinya lengkap, saya mau sedikit mengeluh. Bapak dan Ibu di sini tahu seberapa banyak hal yang perlu saya pelajari untuk menempati posisi yang saat ini sedang Anda sekalian siapkan untuk saya. Saya sadar diri bahwa saya masih perlu banyak belajar. Jadi kalau secara tidak langsung saya juga diberi tanggung jawab untuk menangani Pak Lukito, yang saya tahu betul bahwa seharusnya itu tidak menjadi tanggung jawab saya, jelas saya merasa keteteran. Di antara kesibukan saya yang harus mengurusi banyak hal, apa iya saya juga harus meladeni Pak Lukito? Begini Pak Djati ..." gue beralih pada orang paling berkuasa di perusahaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N E X P E C T E D
General FictionPada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa cukup.