UN-8

12 3 0
                                    

Satria's


"Lo kalau capek, balik aja ke kamar duluan." gue mendengkus saja. Malas meladeni Ananta yang sepertinya mulai kehilangan akal sehat karena kebanyakan minum. Laki-laki di depan gue ini mulai kehilangan fokus, mulutnya merancau tak jelas, sudah pasti dia mabuk kerena menandaskan bergelas-gelas minuman keras.

"Sat ..." gue mendongak.

"Hmm,"

"Sat,"

"Apa, sih!" laki-laki satu ini betul-betul bertingkah aneh kalau dalam pengaruh minuman beralkohol.

"Bangsat. Hehehe." apa gue bilang, kan? Gue menoyor kepala Ananta yang hampir jatuh di atas meja. Sial, nyusahin aja jadi orang! Seharusnya gue tadi nggak perlu mengiyakan ajakan Ananta untuk lanjut nongkrong ke lantai dua Tropical ini. Kalau sudah ke bar, mana mungkin Ananta cuma akan duduk dan minum segelas Black Russian.

Nggak. Ananta nggak akan berhenti minum sampai kesadarannya hilang. Di antara sahabat-sahabat gue yang lain, Ananta yang paling berbakat menyusahkan orang.

"Nina cantik ya, 'kan, Sat?" kepalanya ditolehkan ke area sofa sebelah. Setidaknya masih ada dua set sofa yang membatasi meja gue dengan meja yang diduduki Nina dan kawan-kawannya. "Dari banyaknya tempat, gue nggak nyangka bisa ketemu dia di sini. Gila kan, padahal semasa pendekatan dulu gue cuma pernah ketemu dia sebanyak tiga kali dalam rentang waktu 2 tahun! Dan sekarang dia ada di sini, bisa gue lihat pakai mata kepala gue sendiri!"

Nggak banyak yang gue lakukan. Saat Ananta mulai bercerita mengenai hubungannya dengan Nina beberapa tahun silam, gue cuma menyimak dan nggak bicara apa-apa. Tapi mata gue ikut melihat ke arah yang sama dengan Ananta. Perempuan yang kami bicarakan itu–Ananta bicarakan–sedang tertawa lebar. Entah apa yang lucu, tapi beberapa kali Nina tampak bertepuk tangan heboh. Sesekali juga memukul bahu laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Ananta meraih lagi gelasnya yang sudah kosong, mengisinya lagi. "Gue yang mutusin, gue juga yang nyesel. Sial!"

"Jadi, lo yang mutusin dia?" gue terkekeh kecil di sela kalimat yang gue utarakan. Nggak habis pikir gue sama kelakuan Ananta.

"Nyesel gue, Sat. Sumpah!"

Ya ya ya ... kayak menyesal bakal merubah segalanya aja!

Gue nggak tahu persis apa status hubungan antara Ananta dengan perempuan bernama Anya, yang gue tahu mereka berdua memang sedang dekat. Dan sepengelihatan gue mereka berdua kelihatan serius. Tapi sekarang bisa didengar sendiri, kan? Mulut jahanamnya malah menyerukan betapa menyesalnya ia saat ini karena perempuan lain.

"Gue panggilin security ya buat anterin lo ke kamar?" gue malas mendengarkan lebih banyak hal lagi tentang Nina. Atau lebih tepatnya mengenai hubungan di antara keduanya yang sempat terjalin. Bukannya gue nggak pengertian, gue tahu betul apa yang dirasakan Ananta. Perasaan menyesal itu–meskipun dalam konteks yang berbeda–gue juga pernah merasakannya. "Tunggu di sini. Gue panggil Rian dulu." lanjut gue, menyebutkan nama kepala keamanan E'A Resort yang cukup dekat dengan Ananta.

Gue melewati meja Nina saat hendak keluar dari bar. Ramai. Totalnya ada sekitar lebih dari lima orang.

Kali ini gue bisa melihat Nina dengan jelas. Bagaimana dia tertawa lebar sekali, bagaimana tingkah absurdnya saat berusaha menghidupkan suasana, intinya perempuan itu terlihat sangat amat menyenangkan. Sikapnya mengingatkan gue dengan Raditya. Benar, mereka berdua kakak beradik.

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang