Satria's
"Makan siang dulu, Pak. Setelah itu kita langsung jalan pulang." ujar Ruwi begitu gue keluar dari mobil yang mengantar kami–gue, Ibu Indira, Pak Januar, Pak Basuki, dan Tiana–melihat perkebunan nanas dan pepaya.
Lokasi perkebunan sebenarnya nggak begitu jauh dengan pabrik produksi, tapi kondisi jalan yang rusak parah membuat perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh selama 30 menit menjadi dua kali lipatnya. Perjalanan pulang-pergi yang menghabiskan waktu kurang lebih dua jam itu–yang membuat gue jadi kerepotan sendiri–karena mendadak pusing dan mual akibat jalan berlubang dimana-mana.
Memang apa si yang lo harapkan, Sat? Namanya juga lokasi perkebunan! Jalanan jelek dan berlubang bukan hal yang aneh di sini. Apalagi kelihatannya semalam habis diguyur hujan, jalanan tanah itu mendadak seperti tempat offroad penuh lumpur. Tiba-tiba gue teringat masa lalu, dimana jeep wrangler rubicon gue terguling di hamparan jalan berlumpur saat tour di Kalimantan.
"Capek, ya Pak?" Bu Indira menyodorkan sebotol air mineral yang didapatnya dari Tiana. "Memang begitu Pak kondisi jalan di perkebunan. Sebetulnya sudah diperbaiki beberapa kali, tapi karena kendaraan besar sering keluar masuk untuk mengangkut hasil panen perbaikan jalannya terasa sia-sia. Mentok-mentok cuma bertahan enam bulan, setelah itu kembali seperti tadi." Jelas Bu Indira meskipun gue nggak bertanya. Kernyitan di dahi gue bukan memprotes soal jalan super jelek yang tadi kami lewati, tapi karena kepala gue yang mendadak pusing saat turun dari mobil. Ibu Indira salah mengartikan ekspesi gue.
"Oh begitu ... apa nggak berbahaya Bu untuk para pekerja kebunnya? Tadi saya lihat banyak juga pegawai lepasnya di sana." ini supaya gue kelihatan bodoh saja sebenarnya. Masa iya gue nggak tahu risiko dari melewati jalan jelek yang juga berlumpur.
Bu Indira tersenyum teduh. Gue salah sangka rupanya. Ternyata Ibu Indira nggak termakan oleh kalimat pura-pura bodoh gue barusan. "Diminum dulu Pak Satria minumnya." Gue memang kepanasan dan agak haus sih. "Kalau ditanya bahaya atau nggak, ya jelas bahaya toh Pak Satria. Jalanan berlumpur 'kan cenderung licin ya ... tapi kayaknya pekerja kita lebih jago bawa kendaraan, jalanan seperti itu bukan apa-apa bagi mereka." Bu Indira kemudian memutar tubuh, "Na, sudah bisa langsung makan siang?"
Tiana mendekat, "Sudah Bu. Kita makan di ruangan Ibu 'kan?"
"Lho ... saya kira di ruang Bapak." Bu Indira menggumam, tapi kemudian mengangguk-angguk saat memeriksa ponsel. "Ayo Pak Satria, sudah waktunya makan siang. Pak Biantara dan Pak Djati kebetulan sedang ada tamu dari pemprov Jawa Barat. Jadi nggak bisa ikut makan siang dengan kita."
Kalau situasinya begini, mana mungkin gue bisa ngobrol berdua dengan Pak Djati. Yang bersangkutan saja sibuknya minta ampun, padahal orang yang minta bertemu di tempat ini beliau sendiri. Meskipun gue juga berharap bisa ngobrol sebentar untuk membahas 'permasalahan' kemarin. Setidaknya gue butuh 'gambaran' tentang bagaimana menghadapi seluruh jajaran dewan direksi–yang sejak bergabung di Widjaja Outomotive resmi menjadi musuh bebuyutan gue.
Memang, gue nggak pernah beruntung kalau berurusan dengan jajaran dewan direksi. Apalagi Ibu Rukmana. Gue menghembuskan napas berat, kepala gue tambah berdenyut-denyut–memikirkan kemungkinan bahwa besok Ibu Rukmana akan menyemprot gue habis-habisan.
"Mari, Pak." Bu Indira menggiring kami semua untuk berjalan menuju gedung utama pabrik–yang mana berisi pusat segala administrasi pabrik berjalan.
Cuaca hari ini sungguh cerah–sangat panas–sampai gue harus mempercepat langkah karena sudah nggak tahan. Bu Indira dan Pak Januar pun melakukan hal yang sama. Tapi sebelum menginjak pelataran lobi, Ruwi mencegat langkah gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N E X P E C T E D
General FictionPada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa cukup.