Karenina's
"Cekcok lagi ya sama Jess?" Wira menatap kedua mataku begitu tiba di hadapannya. Aku sengaja menghampiri Wira setelah memastikan bahwa tidak ada yang salah dalam pengambilan closing statement di kamera Daniel. Laki-laki itu tadi juga sudah kelihatan cukup puas dengan hasilnya sehingga kami tidak perlu retake video lagi.
"Saya sih sudah merasa kalau ini bagus. Tapi kalau kamu merasa belum puas, kita bisa take video lagi." Daniel menunjuk layar monitor berisi wajahku yang diambil dari dua sudut berbeda–depan dan samping kiri. Meski sambil mengangguk puas, Daniel memberikan opsi lain apabila aku merasa belum puas dengan video yang dihasilkan.
"Ya gitu deh ..." aku menanggapi pertanyaan Wira seadanya. Pasalnya, bingung juga mau merespon bagaimana. Aku dan Jessica sesekali terlibat cekcok tapi yang paling sering hanya saling mendiamkan. Wira tahu itu. Tidak, semua orang juga tahu itu.
Aku nggak ingat bagaimana mulanya, yang kutahu pertikaian awal kami adalah gerbang lain menuju ke pertikaian-pertikaian selanjutnya. Kalau dipikir-pikir, masalah yang sering Jessica debatkan denganku itu bukan sesuatu yang penting! Jessica bisa marah karena aku menggunakan gelas miliknya untuk mengambil minum, Jessica bisa mendiamkanku karena menjemur handuk tepat di sebelah handuk miliknya.
Aneh, kan?
Kayak nggak ada hal lain yang perlu didebatkan saja!
"Kamu nggak bosan kah, Nina?" pertanyaan Wira membuatku menatapnya dengan pandangan nggak paham. Dia latas melanjutkan, "Memangnya nggak bisa dibicarakan baik-baik ya? Apa nggak capek kalau ribut terus sama Jess?" aku gagal mengulas senyum untuk menutupi kejengkelan karena pertanyaan Wira barusan.
Wira ... Wira. Kamu masih nggak paham juga? Wajahku ini–apa menunjukkan bahwa aku senang dengan sebuah pertikaian?
"Ya menurutmu saja, Wir." gumamku, sambil terkekeh kecut. "Memangnya aku kelihatan menikmati ya setiap kali ribut sama Jess? Nggak loh, Wir. Jujur, yang ada aku malu setiap kali ribut sama dia, Wir–apalagi kalau harus sampai dilerai sama salah satu dari kalian." mana mungkin aku nggak malu 'kan setiap kali harus dilerai oleh Daniel-Yudistira karena alasan yang itu-itu saja?
Wira sepertinya nggak memperkirakan bahwa jawaban semacam itu yang akan kuberikan sehingga wajahnya berubah tak enak. Wira berdehem beberapa kali, kepalanya bergerak tak beraturan dengan pandangan mata ke segala arah. Aku tahu, laki-laki itu berusaha keras agar tak bertemu tatap dengan mataku–yang sejak tadi fokus menyoroti tingkah lakunya.
Tapi aku belum puas, Wir.
"Bicara baik-baik ya tadi kamu bilang?" aku mengulas senyum tipis. "Kamu pikir aku nggak pernah berusaha bicara baik-baik sama Jess, ya?" aku menggeleng tak yakin. Wira pasti berpikir kalau aku sama kekanakannya dengan Jessica. Lelaki itu, yang saat ini sudah berani menatap kedua mataku, sudah akan buka suara. Tapi aku menyela cepat. "Gini loh, Wir, seringnya itu ... sebelum aku tahu dimana letak salahnya, tiba-tiba Jessica udah nyerocos lebih dulu. Tapi Wir, aku nggak pernah loh nggak bicara baik-baik sama dia. Kalau aku ngeladenin Jess sama kayak cara dia ngomong ke aku, apa bedanya kami berdua, kan? Diajak ngomong baik-baik aja aku masih sering kena semprot loh. Gimana kalau aku juga bertingkah sama kayak yang dilakuin Jess? Kami pasti sudah jambak-jambakan, Wir!"
"Wir, nggak perlulah kamu sampai harus mendikteku tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah. Kamu nggak kelihatan hebat di mataku, kamu malah bikin aku nggak nyaman." tutupku. Wira kelihatan semakin merasa bersalah, padahal biasanya aku kesulitan membaca mimik wajahnya yang selalu datar itu.
"Maaf, ya, Nina." Wira menunduk tak berani menatap seperti sebelumnya. Hari ini, aku sudah mendapat permintaan maaf dari dua orang yang berbeda. Bukan merasa puas, aku justru terbebani.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N E X P E C T E D
Aktuelle LiteraturPada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa cukup.