UN-10

6 2 0
                                    


Karenina's


"Sudah lama loh kamu nggak kelihatan ... sering-sering lah main kemari, Mas. Kalau perlu ajak juga anak-anak yang lain. Mereka juga sudah lama nggak pernah ke sini." kalimat itu disertai dengan tepukan pelan pada bahu laki-laki yang berdiri di sisinya. Sedangkan yang diajak bicara cuma bisa tertawa kecil. Mengerti maksudnya, ia kembali buka suara. "Iya, iya, ngerti saya ini kalau kamu sibuk. Kalau sering terlalu berat, ya boleh lah sesekali aja setor muka ke saya."

"Saya nggak bisa janji loh ya, Pak. Tapi nanti kalau ada waktu luang, saya usahakan untuk mampir kemari."

"Ya, ya, begitu juga nggak apa-apa." sosoknya kelihatan cukup puas mendengar jawaban semacam itu, meskipun menurutku kalimat itu nggak menjanjikan apa-apa. Aku geleng-geleng saja, kemudian kembali fokus dengan benda-benda berserakan di sekitarku. "Dek, ini loh, ada Mas Satria. Coba ke sini dulu sebentar." aku memejamkan mata, mendesah pelan. Kupikir papi nggak menyadari keberadaanku–yang cukup tersembunyi–di tempat ini. Tapi melihat repon Satria yang biasa saja, aku menduga kalau sebenarnya lelaki itu juga menyadari eksistensiku di sela rimbunan pohon tomat.

Rimbunan pohon tomat apa sih, Nina? Itu cuma tanaman yang tingginya bahkan nggak lebih dari sejengkal.

Jadi, setelah menggeser beberapa pipa yang malang melintang nggak beraturan aku keluar dari green house dan menghampiri keduanya.

Hari sabtu begini–weekend atau hari libur–biasanya jadwal papi selalu penuh. Entah untuk kumpul bersama adik-adiknya, atau pergi memancing dengan para sahabat. Sesekali pergi dengan aku dan Mas Radit. Tapi mengingat sekarang sudah jam sepuluh, dan papi masih berpakaian rumahan, mungkin papi hanya akan menghabiskan waktu liburnya di rumah.

Lalu perhatianku teralih pada Satria. Laki-laki itu kelihatan santai dengan kaus polo warna putih. "Hai, Mas." aku mengulas senyum, menyalami, dan memeluknya singkat.

"Ini Mas Satria katanya janjian sama Mas Radit. Tapi dari tadi ditungguin di depan kok nggak muncul-muncul orangnya, jadi Papi temenin sekalian ke belakang. Kata Mamimu tadi anaknya ke belakang." jelas papi, menyampaikan alasan mengapa dirinya dan Satria bisa sampai di tempat ini.

"Mas Radit? Itu tadi orangnya ke belakang sana sambil bawa pancing." tangaku menunjuk ke arah belakang, tepat dimana danau buatan berada. Aku yakin sekali orang yang mereka cari saat ini sedang santai-santai memancing–pura-pura nggak ingat kalau sebenarnya ia ada janji. Aku nggak heran sih sama yang satu ini. "Mau aku panggilin aja?" karena aku menangkap ada hal penting yang ingin dibicarakan.

"Gimana, Mas? Kamu mau ke sana sendiri atau biar dipanggilin Nina aja?"

Satria berdehem pelan. Dia menatapku sedikit lebih lama sebelum beralih pada papi. "Sebenernya saya mau ngobrol sama Bapak juga kalau Bapak ada waktu." keningku ikut berkerut juga seperti papi.

"Ya sudah, kalau gitu kita ngobrolnya di depan saja." papi mengangguk-angguk. Dari sini, dari tempatku berdiri, aku bisa membaca perubahan raut wajah papi yang semula santai menjadi lebih serius. Pengelihatanku kembali pada Satria. Sayang aku nggak menemukan apa-apa selain wajah datarnya. "Dek, tolong panggilin Mas mu ya. Ayo, Mas."

"Saya ke depan dulu, ya?" bisik Satria, sebelah tangannya mengusap lengan kananku. Dia kemudian menyusul papi yang sudah lebih dulu berlalu. Meninggalkanku dengan perasaan aneh dan heran sekaligus. Kupandangi punggung lelaki berpenampilan serba putih itu, berharap menemukan jawaban atas kalimatnya barusan.

Ke depan dulu?

Artinya nanti dia mau ke sini, gitu?

Tapi sampai aku berdiri tepat di sebelah Mas Radit dan memberitahunya bila ia ditunggu oleh papi dan Satria, aku masih belum bisa menyimpulkan maksud dari perkataannya.

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang