UN-13

19 1 0
                                    


Satria's


Anggaplah malam ini gue sedang beruntung karena berhasil membawa Nina untuk pulang bersama gue. Iya, awalnya gue berpikir begitu karena satu-satunya yang ada di pikiran gue adalah membawa perempuan itu bersama gue. That's it. Tapi sepertinya gue lupa kalau tempat diadakannya acara ulang tahun Pak Cakrawangsa ini adalah salah satu hotel yang sering gue datangi dengan sahabat-sahabat gue sehingga pergerakan gue yang sebelumnya gue pikir sudah sangat hati-hati, rupanya masih bisa kecolongan juga.

Gue pikir, gue dan Nina cuma tinggal masuk ke dalam mobil begitu mobil yang dikendarai Pak Didit untuk mengantar gue berhenti di pelataran loby. Gue nggak memperkirakan kalau mobil lain yang ada di belakang–yang sebetulnya cukup familiar di pengelihatan gue–memang betul mobil dari salah satu kenalan dekat gue.

Dari banyaknya orang, kenapa harus Tama sih?

Begitu tatapan gue dan Tama bertemu, gue langsung disuguhi dengan senyuman lebarnya. Gue nggak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi senyuman lebar Tama kali ini jauh berkali lipat lebih menyebalkan dibandingkan tingkah nggak bisa diamnya.

"Widih, widihhh ... sama siapa nih?" kalimat yang pertama kali keluar dari mulut Tama membuat gue memejamkan mata. Lagi-lagi, kenapa harus ketemu Tama! Nggak ada apa orang yang lebih 'normal' sedikit selain kunyuk satu ini?

Gigi gue otomatis bergemeletuk saat langkah Tama semakin dekat dengan posisi tubuh gue dan Nina berada. Sejujurnya gue nggak masalah kalau dia mau menghampiri gue, hanya saja gue menyadari satu hal malam ini. Mood Tama kelihatan sangat 'bagus'. Dan itu membuat gue ngeri sendiri. Tama dalam kondisi mood biasa-biasa saja sudah cukup untuk membuat gue darah tinggi, apalagi kalau mood-nya sedang bagus kayak sekarang ini!

"LHO! NINA?"

Gue menipiskan bibir. Kaget kan lo, Tam?

Gue melempar tatap ke segala arah. Gue nggak mau melihat bagaimana cara Tama menatap ke arah gue sekarang. Karena gue sangat amat mengenalnya, tatapan datarnya saja bisa gue terjemahkan dengan sangat jelas. Dan gue lagi nggak pengen ngeladeni dia di situasi ini.

Gue berhem pelan untuk mengendalikan diri saat merasakan tubuh Nina agak sedikit merapat ke arah gue. Awalnya gue pikir Nina merasa nggak nyaman dengan kehadiran Tama makanya dia merapat ke arah gue, tapi setelah tatapan kami bertemu, gue nggak menemukan satupun gelagat yang menunjukkan kalau dia terganggu dengan kehadiran Tama.

Yang nggak nyaman itu lo sendiri kali Sat!

Oke, stop!

"Nggak usah dikenalin kamu pasti sudah kenal sama Tama kan?" gue mengambil alih situasi dengan merangkul pinggang Nina. Meski nggak begitu kenal, gue yakin Nina cukup familiar dengan Tama. Gue dulu juga begitu, nggak kenal Nina tapi tahu kalau dia adiknya Raditya. Seharusnya itu berlaku pada Nina juga kan? Ah, gue sok tahu banget memang.

Masih dengan pandangan yang mengarah ke gue, Nina mengerjab-ngerjab pelan. Oh, Man ... kenapa sikapnya jadi berubah menggemaskan gitu sih?

"Kenal kok. Hai Mas ..." suara Nina menyadarkan gue. Fokus Satria! Ada Tama ini di sini!

"Wahhh ... masih nggak nyangka bisa ketemu di sini sama Satria." Tama bahkan nggak berusaha menutupi raut terkejut, heran, sekaligus nggak menyangkanya karena bertemu dengan Nina–di sini, bersama gue.

"Ya memangnya kenapa? Nggak boleh Nina di sini sama gue?" Tama sama sekali nggak tersinggung dengan perkataan ketus gue barusan. Di tempatnya dia malah menganga lebar sebelum buru-buru menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Semoga dia sadar kalau di tempat ini dia harus menjaga imejnya.

U N E X P E C T E DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang