he's here; goresan

1K 121 12
                                    

Awan kelabu terlihat menghiasi cakrawala yang sangat luas tidak terjangkau mata manusia. Gelap, sangat gelap. Bahkan sesekali suara gelegar sang petir yang menyambar membuat siapa saja yang mendengarnya merapatkan tubuh ketakutan. Angin sudah sedari tadi berhembus sangat kencang menubruk tubuh setiap umat manusia yang masih memberanikan diri untuk keluar dari rumah.

Satu, dua, tiga, dan beberapa detik ke depan belum ada tanda-tanda air akan segera jatuh membasahi bumi yang sudah terlampau sering menampung tangis dari sang langit akibat ulah manusia-manusia keji yang merusak ekosistem. Kejatahan yang semakin merajalela. Kisah si kaya dan si miskin terlihat jelas di depan mata seolah menjadi pemandangan yang biasa.

Mati, matilah Kau mati.

"Hahaha, tunggu aku!" ucap seorang bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun dengan langkah kecil mengejar seseorang di depannya yang ikut melontarkan tawa.

Mereka terlihat sangat asyik pada permainan yang telah diciptakan secara bersama. Tidak peduli kalau alam mulai mengamuk dan siap menerbangkan tubuh ringkih berbalut kaos garis-garis itu.

"Hai jangan curang!"

"Aku akan menangkapmu, tapi tunggu aku!" Si bocah itu terlihat semakin mempercepat larinya untuk menyusul. Namun, apalah daya karena langkah mereka yang terpaut sangat jauh. Dia——yang lebih tinggi dan tentu saja lebih tua dari bocah laki-laki itu mengulum senyum manis sembari sesekali menoleh ke belakang untuk melihat si kecil yang berusaha menangkapnya.

Suasana pedesaan di sore hari kali ini seolah menjelma menjadi malam karena awan kelabu yang memeluk erat seluruh desa untuk merasakan tangisnya.

Rumah tua dengan beberapa bagian atap yang sudah rusak itu semakin menghawatirkan. Apalagi, kalau hujan benar-benar turun secara deras semua orang yang ada di dalamnya harus bekerja sama untuk menghalau agar air tidak membanjiri seisi rumah lantaran bocor.

Berbeda dari manusia yang prihatin dengan keadaan di luar sana, tumbuhan terlihat bergoyang ke sana kemari akibat tiupan angin. Seolah bersorak hore lantaran akan merasakan kembali sapuan lembut yang membuatnya semakin hidup.

Matilah manusia, matilah kalian semua!

Ibarat permohonan dari mahluk lain yang sudah dirugikan oleh tangan-tangan manusia nakal.

Bruk...

Bocah laki-laki itu terjatuh akibat akar pohon yang menonjol keluar permukaan. Membuat bocah laki-laki itu mengaduh dan mulai melihat lututnya yang kotor akibat tanah serta darah yang terlihat secara perlahan keluar membuat bocah itu meringis menahan sakit. Tidak, dia tidak menangis. Bocah itu justru segera bangkit dan menoleh ke segala penjuru untuk mencari sosoknya yang tadi tengah bermain bersama.

Netra itu mengedar ke segala arah dengan hati-hati. Sunyi semakin mencekamnya kuat bersama tiupan angin yang semakin membuat rambut ikal itu terbang.

"Hei! Kamu di mana?" Ia tetap mencari. Berjalan lurus--menjauhi area pekarangan rumah yang banyak ditumbuhi bunga mawar, dan beberapa tumbuhan kamboja berukuran sedang namun sudah menghasilkan bunga cantik berwarna kuning dan putih.

"Jangan bersembunyi! Ayo kita bermain lagi!"

"Kamu di mana!" Teriakan itu semakin menjadi. Bocah laki-laki yang tadinya terlihat sangat bahagia itu langsung menatap sendu. Embun yang sudah berkumpul di sudut matanya siap untuk jatuh membasahi pipi tembam miliknya. Detik berikutnya, bocah itu meraung sangat keras. Bukan lantaran lukanya terus menerus mengeluarkan darah, namun karena bocah itu merasakan kehilangan seseorang yang begitu berarti baginya.

Dia dipermainkan!

Dia ditinggalkan!

Semua menjauhinya!

He's Here | Lee Haechan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang