he's here; jeno

1K 128 9
                                    

"Ma-mama!" Suara bergetar dari bocah laki-laki itu membuat wanita setengah baya yang tengah menggendong si bungsu lantas menoleh dan semakin menggenggam kuat tangan putra sulungnya.

"Ada apa sayang?"

"Papa, akan baik-baik saja?" tanyanya takut. Netra kelam itu terlihat mulai dipenuhi cairan bening yang siap jatuh kapan saja. Namun sebisa mungkin si sulung menepis sesak di dalam dada ketika melihat adik kecilnya terus menangis di gendongan sang Mama. Tidak, ia tidak boleh ikut menangis seperti adek. Ia tidak boleh membuat Mama semakin sedih, pikirnya dalam hati. Bocah itu terlihat meremas ujung bajunya menyalurkan perasaan tidak tenang yang sedari tadi terus mengganggu. Belum lagi beberapa luka gores yang berhasil membuat lengannya mengeluarkan cairan kental berbau amis terasa sangat perih. Harus kuat, Jeno! Tidak boleh cengeng! Jeno sudah besar! Semakin ia remas ujung baju itu ketika rasa perih kian menjalar semakin memperbanyak cairan yang tadinya sudah terkumpul di sudut mata.

Mama, sakit.

Sakit.

Ia ikut menangis tanpa suara. Cairan bening itu jatuh layaknya sebuah air terjun sampai membuat pipi gembul miliknya basah. Tidak, tidak boleh cengeng. Serunya dalam hati lantas segera menghapus kasar jejak air mata yang tertinggal.

Bayangan tentang bagaimana mobil milik keluarganya berakhir terjun bebas ke dalam jurang terekam sangat jelas dalam benak si sulung yang kini berusaha menenangkan diri karena tidak mau membuat sang mama semakin sedih. Rencana berlibur mereka hancur berantakan dan harus digantikan dengan tangis yang kian semakin menyesakkan dada. Belum lagi, ketika tubuh pria tangguh yang selalu Jeno kecil puja kini terbaring lemas di atas tempat tidur tua.

"Papa baik-baik saja, Kak. Jangan menangis, ya? Nanti adek semakin menangis kalau kakak ikutan menangis," kata Mama lembut setelah mengubah posisinya menjadi terduduk diatas lantai kayu dengan si bungsu yang berada di pengakuannya. Bocah kecil itu masih terus meraung sangat keras, terlihat masih betah menyembunyikan wajahnya.

Jeno kecil hanya mengangguk patuh. Ikut duduk di dekat sang Mama tidak mau tautan tangan mereka sampai terlepas. Jeno--takut. Rumah yang kini ia tepati terlihat sangat menyeramkan dan berbeda jauh dari rumahnya yang berada di perkotaan. Bangunan tua yang bisa dibuktikan lebih banyak terbuat dari kayu itu membuat bulu-bulu halus langsung menegang sempurna. Belum lagi ornamen lawas yang berhasil membuat Jeno enggan menatap lebih lama. Benar-benar sudah usang di makan usia. Jeno heran, memangnya ada orang yang tinggal di tempat seperti ini?

"Mama, sakit!" lirihnya. Bocah laki-laki yang lebih tua dua tahun itu langsung memperlihatkan luka di bagian lengannya. Membuat Mama ikut meringis menahan ngilu sebelum memberikan kecupan singkat pada kening yang berkeringat.

Mama bangga pada Jeno karena telah menjadi kakak yang baik!

"Nanti Mama obati, ya? Tunggu adek sampai tenang dulu." Dan anggukan patuh kembali bocah itu berikan.

"Sebaiknya, kalian menginap sampai keadaan suamimu jauh lebih baik." Suara itu menginterupsi tenang dari arah belakang. Membuat Jeno dan Mama lantas menoleh secara serempak. Mama terlihat hanya mengulum senyum sedangkan Jeno kecil semakin merapatkan diri ke arah Mama. Memeluk lengan sang Mama kuat, Jeno takut. Ia masih belum terbiasa.

"Maaf jadi merepotkan."

Wanita lanjut usia itu hanya terkekeh kecil. Memperlihatkan barisan gigi yang sudah tidak komplit karena usianya kian bertambah serta kerutan pada wajah yang sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Surai itu kini sudah berganti warna secara alami menjadi putih keseluruhan. "Musibah, tidak ada yang tahu kapan datangnya," ujarnya mengecil di akhir kata. Beliau terlihat meletakan air putih di atas meja sebelum mendekat ke arah Jeno dan Mama.

He's Here | Lee Haechan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang