Bersiap

5 0 0
                                    

Sunda Kelapa....

Kota pelabuhan itu telah dikelilingi benteng yang kokoh, diatas menara-menaranya, sudah siaga prajurit Padjajaran dengan  busur dan anak panah serta meriam-meriam kecil untuk bertahan dari serangan Pasukan Demak.

Di luar kota....

Prabu Surawisesa dan pasukan utama yang berjumlah besar dengan sejumlah gajah dan kuda yang ditunggangi para ksatria utama Padjajaran tampak siaga.Pasukan Padjajaran berkali-kali lipat lebih besar dibanding Demak.Tombak dan pedang, serta kujang yang mereka hunus kilaunya memenuhi udara dan mengalahkan sinar matahari.Prabu Surawisesa sendiri menunggang gajah yang dihiasi pelana sutra merah dan payung kuning.

Di sampingnya...

Terdapat seorang pengawal yang menunggang kuda seraya membawa panji Harimau Kerajaan Padjajaran.

"Apakah Gusti Prabu tidak salah menempatkan pasukan utama di luar benteng? justru dengan masuk ke benteng, kita memperkuat pertahanan, Gusti Prabu"protes si pengawal.

"Ini justru strategi kita, saat garnisun yang dipimpin Wak Item di tembok kota hancur karena menghadapi serangan Demak, kita akan serang Demak dari belakang saat mereka sedang melumat pasukan kita.Pasukan Demak pasti gelagapan menghadapi serangan kita" jelas Prabu Surawisesa.

Pasukan Padjajaran pun tidak dalam keadaan bersatu, Padjajaran sejatinya merupakan konfederasi dari Kerajaan Sunda dan Galuh, dan kerajaan-kerajaan lain yang lebih kecil. Hanya Pasukan Sunda saja yang menyertai Prabu Surawisesa.Raja Galuh, Jayaningrat yang memiliki persaingan pribadi dengan Prabu Surawisesa memilih tidak ikut dengan alasan sibuk menghadapi invasi Pasukan Cirebon.

Sementara itu....

Garnisun di tembok kota pun kebanyakan adalah Serdadu Betawi yang disewa Prabu Surawisesa.Mereka dipimpin oleh Wak Item, Wak Item sendiri tidak sepenuh hati berperang di kubu Prabu Surawisesa.

"Mengapa kita tidak memilih berperang di dalam bersama Wak Item saja, Prabu? tanya pengawal lagi.

"Aku hendak memberi pelajaran pada Wak Item, sengaja aku tempatkan ia di benteng dengan pasukan yang segelintir agar ia mati.Ia berani-beraninya menentang pemerintahanku dan menganggap bahwa aku tidak setaraf dengan ayahku Sri Baduga Maharaja.Maka aku akan menjadikan perang ini sebagai even untuk menghabisinya"jawab Prabu Surawisesa.

Pelabuhan Jepara.....

Pasukan Demak telah berkumpul, begitupula sekutu mereka dari Banten.Semuanya mengenakan baju takwa putih lengan panjang dengan kain jarik cokelat di pinggang dan celana putih serta serban putih, dengan perisai dan tombak maupun pedang di tangan.Sebagian membawa senapan.Panji-panji  hitam dengan bulat sabit putih berkibar-kibar.Kapal-kapal Junk besar telah berjejer di pesisir.Fatahillah naik ke atas panggung kayu di tengah-tengah pasukan.Ia memakai jubah cokelat dan serban bulat cokelat, pedangnya yang panjang dan bercabang dua berkilau ditimpa sinar matahari.

"Pasukanku, hari ini kita akan berangkat untuk berperang melawan Kerajaan Padjajaran yang mengkhianati kita.Tapi, ingatlah, sebelum berlayar ke Sunda Kelapa, kita akan lebih dahulu singgah di Cirebon.Disana sudah siap kavaleri yang dipimpin Haji Tan Eng Hoat dan Raden Walangsungsang.Setelah itu, kita akan langsung menyerang benteng Padjajaran di Sunda Kelapa, bertempurlah mati-matian dan jangan ada yang mundur, ALLAHUAKBAR!!! Fatahillah mengacungkan pedangnya ke angkasa.

Sultan Trenggono berada di atas kudanya dengan dikawal dua orang prajurit yang juga menunggang kuda.Sultan Trenggono harap-harap cemas dengan pemberangkatan pasukan ini.Kali ini, ia memang tidak ikut langsung karena ada urusan negara.Masih terbayang di pelupuk matanya kekalahan Pasukan gabungan Demak-Jepara-Palembang saat mereka menyerang Portugis di perairan Malaka beberapa tahun sebelumnya.Masih terbayang begitu jelas kematian Pati Unus, saudaranya dalam peperangan itu.Saat peluru meriam Portugis menenggelamkan kapal yang ditumpangi Pati Unus.Akankah pasukan yang kali ini dikirim kalah dan Fatahillah, menantu kesayangannya akan terbunuh? atau barangkali putra tercintanya, Syarif Hidayatullah?ah , entahlah.Ia hanya bisa menyerahkan semuanya pada Allah Subhanahuwataala.

Diantara barisan pasukan....

Arkian terlihat di baris depan, ia memakai serban putih bulat di kepalanya dan baju serba putih serta kain jarik di pinggang dan celana putih, lengkap dengan menyandang pedang.Jantungnya berdebar, ia belum pernah ikut dalam peperangan sebelum ini.

Syarif Hidayatullah kala itu memakai jubah hijau dan serban kuning bulat dengan menyandang keris di pinggangnya, ia menunggang seekor kuda hitam.Iapun mendekati sang ayah, Sultan Trenggono sebelum pasukan mulai berangkat.

"Ayah, aku mohon ayah tidak usah kuatir, Insya Allah kami bisa mengalahkan  Prabu Surawisesa dan juga sekutunya, Portugis.Peperangan ini memang tidak ringan, ayah.Aku tahu sekuat apa Pasukan Padjajaran , tapi panglima besar Padjajaran, Prabu Kian Santang yang juga penasihat istana tidak memihak mereka ayah.Sehingga Pasukan Padjajaran akan lebih mudah dikalahkan karena mereka telah kehilangan panglima andalannya, aku mohon yakinlah ayah.Allah pasti menolong kita"ucap Syarif Hidayatullah.

"Anakku Syarif Hidayatullah, berangkatlah nak, Ayah berharap kau selamat.Ayah berharap ekspedisi kali ini akan mencegah upaya Portugis menjajah Pulau Jawa"ucap Sultan Trenggono

Kelompok demi kelompok Pasukan Demak mulai naik ke kapal.Setiap kapal yang telah penuh akan berlayar, meninggalkan pelabuhan.

Sultan Trenggono menadahkan tangannya ke langit, berdoa memohon kemenangan pada Allah Subhanahuwataala.Air mata menitik di kelopak matanya, yang terus berupaya ia tahan.Karena hari ini anak dan menantunyalah yang akan berangkat berjihad di jalan Allah.

Trivia:
Ada dua versi mengenai silsilah Syarif Hidayatullah. Naskah Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Pangeran Arya Cirebon menuliskan bahwa Syarif Hidayatullah adalah anak dari Sultan Mesir, Molana Huda (Sultan Hud) dengan putri Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja, Dewi Rara Santang.Naskah Purwaka Caruban Nagari baru ditulis pada 1720 M, sekitar tiga abad setelah masa hidup beliau.Sementara ada sumber primer dari masa Kesultanan Demak yaitu kronik Tionghoa yang dikutip Prof.DR.Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa Dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.Dari sumber itu, diketahui bahwa Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati itu adalah putra dari Sultan Trenggono yang dikemudian hari mendirikan Kesultanan Cirebon setelah runtuhnya Kesultanan Demak.

Saya memilih menggunakan sumber kedua setelah berkonsultasi dengan konsultan saya, Kak Dhanny Saputra yang mengatakan bahwa kronik Tiongkok sebagian besarnya ditulis di masa Kesultanan Demak dan memiliki akurasi juga.

Jika anda memiliki sumber lain, silakan tulis di kolom komentar ya"



Mahapasundan-Kemelut di Sunda KelapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang