Bab 10

3.4K 248 29
                                    

Bara mengendarai mobil seperti orang gila. Pria itu mencari keberadaan Mutia di beberapa mall.

Bara memperhatikan para pengunjung mall yang masih berkumpul di halaman luaran mall. Satu persatu matanya mengamati wajah orang-orang itu. Tidak nampak Mutia dan Metha ada di kerumunan itu.

Bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami, Bara tetap berusaha mencari keberadaan Mutia sambil sesekali menelpon gadis itu berulang-ulang meskipun hasilnya hampir di titik mustahil.

Bara seakan putus asa, sudah dua jam mencari dan handpone Mutia masih belum aktif. Bara menjatuhkan kepalanya di kemudi mobil, pria itu meneteskan air matanya karena frustasi.

Tidak beberapa lama gawai Bara berdering, nomor baru masuk ke handpone milik Bara. Bara segera menggeser logo gagang telpon berwarna hijau untuk mengangkat panggilan masuk.

"Abang ini Metha, tolong segera datang ke Rumah Sakit umum sekarang"

"Metha, mana Mutia. Aku pengen ngomong sama dia" ucap Bara tidak sabaran.

"Mutia baru ditangani dokter, tolong abang segera kemari" Ucap Metha disertai isakan.

Bara tidak menutup panggilan telpon dari Metha. Pikirannya berkecamuk, pasti ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi pada Mutia.

Pria itu menuju rumah sakit umum dengan menyetir secara ugal-ugalan karena panik. Beberapa lampu merah ia terobos. Bahkan pria itu nekat masuk ke jalur berlawanan arah agar bisa  mempersingkat waktu. Bara seolah tidak peduli dengan keselamatannya sendiri.

Sesampainya di rumah sakit, Bara memakirkan mobilnya secara asal-asalan lalu berlari menuju ruang UGD.

Metha sudah berdiri di dekat pintu UGD menunggu kedatangan Bara.

"Abang, Mutia......" ucapnya disertai tangisan.

Bara melihat kondisi Metha yang berantakan dan bajunya yang berlumuran darah. Hal ini Membuat perasaan Bara tidak karuan. Pasti terjadi sesuatu dengan Mutia. Pikirnya tidak tenang.

"Dimana Mutia?" Tanya Bara setengah berteriak karena panik.

"Di...di... dalam" jawab Metha merujuk ke ruang UGD.

Bara masuk ke ruang UGD. Pria itu melihat ke beberapa bilik yang dikelilingi sekat-sekat ruang perawatan untuk mencari keberadaan Mutia, sampai salah satu perawat UGD menegurnya.

"Mencari siapa pak?" Tanya perawat yang mengenakan seragam berwarna hijau.

"Istri saya sus, Mutiara Ayu Rengganis umurnya 21 tahun, tingginya sebahu saya, dan dia sedang mengandung" Bara memberi detail ciri-ciri Mutia kepada perawat agar perawat mudah mengenalinya.

"Oh ibu Mutia, mari ikuti saya pak. Dokter sudah menunggu anda dari tadi" perawat itu melangkah ke bilik UGD tempat Mutia dirawat, Bara mengikuti perawat itu di belakangnya.

"Istri saya baik-baik saja-kan sus?" Bara hanya ingin Suster mengiyakan ucapannya agar hatinya merasa sedikit lebih tenang.

"Kita tunggu keterangan dari dokter dulu ya pak" jawaban Suster membuat hati Bara tambah tidak karuan.

Tiba di ujung bilik UGD hati Bara luluh lantak melihat kondisi Mutia yang sedang terbaring di brankar. Wajahya pucat pasi dengan masker oksigen di mulutnya. Selang infus dan selang transfusi darah menancap di tangan Mutia. Mutia tertidur, gadis itu tidak bergerak. Mutia hilang kesadaran.

Bara mendekati Mutia. Mengusap lembut surai hitam milik gadis itu. Bara berbisik di telinga Mutia

"Muti, sayang... ini abang. Ayo bangun sayang. Buka matamu" Bujuk Bara kepada Mutia, namun hanya asa kosong yang laki-laki itu peroleh.

Dokter menepuk bahu Bara "Yang sabar pak, ibu Mutia pasti akan baik-baik saja" Dokter mencoba menenangkan.

"Mari pak ikut saya sebentar, saya akan menjelaskan kondisi istri anda saat ini" Bujuk Dokter kepada Bara.

Bara duduk berhadapan dengan dokter. Dokter menyuguhkan beberapa hasil pemeriksaan Mutia di atas meja. Kertas-kertas hasil laborat itu bagai senjata yang disiapkan dokter untuk mengekasekusi Bara. Seperti menghadapi vonis sidang. Bara tidak siap untuk ini.

"Kondisi ibu Mutia sekarang ini sedang kritis. Dia mengalami keguguran. Rahimnya mengalami luka dan robekan sehingga terjadi pendarahan yang terus-menerus. Kemungkinan kedepannya ibu Mutia akan sulit hamil kembali" Bara tak kuasa menahan kesedihannya. Pria itu menangis mengetahui kondisi istrinya saat ini.

Dengan tangan bergetar Bara menandatangani surat persetujuan untuk segera dilakukan tindakan operasi untuk Mutia. Untuk saat ini Bara hanya ingin istrinya selamat.

Setelahnya Mutia dibawa ke ruang operasi. Bara duduk berlunjur di lantai di depan ruang operasi. Punggung Bara bersandar pada dinding, menatap kosong pada sudut ruangan.

Pria itu seperti tidak punya semangat hidup, dunianya serasa hancur saat itu juga. Anaknya tidak dapat diselamatkan dan istrinya sedang berjuang di meja operasi.

Setelah menunggu 4 jam akhirnya Mutia dibawa keluar dari ruang recovery lalu gadis itu dipindah ke ruang icu untuk memantau kondisi kesehatan Mutia.

Bara menggenggam tangan Mutia, pria itu setia duduk di samping tubuh istrinya yang tertidur di brankar. Sesekali ia membelai lembut surai hitam milik sang istri.

"Bar, makamkan putramu lalu istirahatlah di apartemen. Kamu terlihat capek" Hamzah kembali lagi ke Semarang  setelah mendapat kabar dari Metha.

"Biar aku yang nungguin Muti. Umi juga dalam perjalanan kemari" Hamzah tidak tega melihat kondisi Bara yang berantakan.

Pria itu menggeleng "Mutia istriku, biar aku yang menjaganya" Suaranya terdengar serak menahan tangis. Bara sedang tidak ingin dibantah.

"Makamkan dulu putramu Bar, akan aku pastikan Mutia akan baik-baik saja" Hamzah kembali membujuk Bara.

"Tolong, kamu makamkan saja" ucap Bara telak tidak mengindahkan bujukan Hamzah.

"Calon bayi itu putramu Bar, beri dia pemakaman yang layak dari seorang ayah untuk putranya" Hamzah hanya tidak ingin Bara menyesal jika dirinya yang memakamkannya.

Bara menarik nafas dalam "Aku ga sangggup Zah, aku ga sanggup" air matanya menetes membasahi pipi. Tidak terisak namun sanggup membuat dadanya tarasa sesak.

"Aku memimpikan dia ada di gendonganku ketika bayi itu lahir. Aku menimangnya, menidurkan di tempat tidur ternyaman yang akan aku siapkan untuk dia."

Bara tersenyum penuh luka, kecewa pada takdir Tuhan yang tidak berpihak kepadanya "Tapi apa sekarang. Aku malah akan menidurkannya di tanah. Menimbunnya dan meninggalkan dia sendirian di sana tanpa ada orang tuanya yang menemani" Bara benar-benar dalam kondisi yang sangat kacau.

Laki-laki yang biasanya dikenal cukup tenang dalam menghadapi setiap masalah yang menghimpitnya, sekarang terlihat sangat berbeda. Bara terlihat sangat putus asa. Baru kali ini Bara terlihat sangat marah dalam kekecewaannya. Orang di sekelilingnya seperti tidak mengenal wujud Bara yang sekarang.

Haira menggelengkan kepala kepada Hamzah, memberi isyarat kepada suaminya agar pria itu memberi waktu sendiri untuk Bara. Bara butuh waktu menenangkan diri untuk mencoba mengiklaskan semua ini.

TRAPPED (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang