Bab 6

3.4K 293 34
                                    

Tiga perempuan dengan perut besar sedang menunggu antrian untuk masuk ke ruang dokter kandungan. Satu diantaranya bahkan sudah memiliki empat orang anak, berarti yang di dalam kandungan akan menjadi anak yang ke lima.

Tidak ada yang menarik perhatian Mutia dari ke tiga perempuan itu. Mutia hanya iri karena ke tiga perempuan itu di temani oleh suaminya masing-masing, bahkan si ibu yang akan memiliki anak ke lima. Suaminya duduk di sebelahnya sambil mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain-main di ruang tunggu.

Perawat yang mendata diri pasien sudah kembali dari peredaraanya. Mutia lalu duduk di depan perawat itu untuk mendaftar serta mengecek tekanan darahnya.

"Nama ibu dan Nama suami siapa?" Tanya perawat ramah.

"Mutiara Ayu Rengganis dan suami saya Bara Paramudya Setiaji" ucap Mutia dengan nada sedikit bergetar kala harus menyebut nama lengkap suaminya. Suami? Harusnya Bara hadir mendampingi dirinya untuk memeriksakan kandungan bukan?

"Usia?"

"Saya 21 tahun dan suami saya 36 tahun" perawat  cukup ragu ketika akan menulis umur suami Mutia. "36 tahun?" Perawat memastikan takut jika ia salah dengar.

"Iya sus, suami saya 36 tahun, gap umur kita 15 tahun" perawat manggut-manggut mendengar penjelasan Mutia.

"Ibu ke sini ingin program kehamilan atau periksa kandungan?" Tanya suster kembali.

"Periksa kandungan sus" jawab Mutia. Setelah mengecek tekanan darah dan menimbang berat badan Mutia, perawat meminta perempuan itu untuk menunggu di kursi tunggu dan setelahnya akan di panggil sesuai nomor urut antrian.

Setelah menunggu setengah jam akhirnya nama Mutia dipanggil "Ibu Mutiara Ayu Rengganis" panggil perawat jaga  yang tadi menimbang dan mengukur tekanan darah mutia.

Mutia masuk ke ruang pemeriksaan ditemani oleh Metha. Gadis itu berbaring di bed kemudian dokter kandungan mengoleskan gel dan memutar tranduser di permukaan perut mutia bagian bawah.

"Sudah ada kantong janin mbak, sudah terlihat janinnya tapi masih kecil sekali sebesar kacang polong. Bisa dikatakan anda sedang hamil usia lima minggu" Dokter yang berusia lebih dari separuh abad itu menjelaskan kepada Mutia dengan rinci.

Setelah selesai pemeriksaan, dokter memberi resep dan menyerahkan foto USG kepada Mutia. Setelah melihat hasil foto usg yang berupa bintik hitam besar itu membuat keraguan yang ada di dalam hati mutia seketika sirna

"Gue ga nyangka Meth, gue bakal jadi ibu" Ucap Mutia yang senyumnya tidak pernah luntur sejak keluar dari ruang pemeriksaan.

"Seneng-kan lo" Metha juga ikut senang melihat Mutia yang awalnya sedih karena merasa belum siap sekarang menjadi bahagia karena akan menjadi seorang ibu.

Metha memakaikan helm di kepala Mutia "hayuk, kita cari mamam dulu. Elo kepingin makan apa Mut?"

"Gue pengen banget makan nasi urap sayur pakai telor ceplok" membayangkan makanan itu saja sudah membuat air liur mutia ingin menetes.

"Tumben banget elo makan begituan, biasanya elo paling anti sama urap sayur"

"Ga tau nih, gue juga bingung. Bawaan bayi kali. Soalnya abang paling suka makan urap sayur sama telur ceplok" sayur mayur memang tidak pernah absen dari piring Bara ketika pria itu sedang makan.

Metha membonceng Mutia dengan motor matic butut menuju warung makan dekat kampus. Beruntungnya Mutia karena urap sayur di warung itu masih sisa satu porsi.

Mutia makan dengan lahap ditemani Metha yang berdecak kagum melihat porsi makan Mutia yang menjadi dua kali lipat.

"Mutia, kapan mau ketemu sama suami elo?" Metha bertanya di sela-sela makan siang mereka.

"Malam ini" Jawab Mutia singkat sambil menjilati bumbu urap sayur yang menmpel di jari-jarinya "lebih cepat lebih baik" lanjut Mutia lagi setelah selesai menelan makanannya.

Mutia mengirim pesan kepada Bara kalau dia ingin bertemu. Namun seperti biasa, sampai larut malam pesan itu juga tidak dibalas. Bahkan Bara tidak membaca pesan dari Mutia.

Mutia meminta Metha untuk mengantarkan perempuan itu ke apartemen Bara. Mutia hanya menebak-nebak jika Bara selama satu bulan ini tinggal di apartemennya.

Pukul sembilan malam, Mutia nekat menyambangi apartemen Bara. Perempuan itu yakin jika Bara ada di apartemen milik laki-laki itu karena mobil Bara terpakir di basement gedung ini.

Mutia menaiki lift, Mutia masih ingat jika apartemen yang Bara tinggali terletak di lantai 20, tepatnya setelah dari pintu lift dia harus berbelok ke kiri  lalu berjalan lurus dan apartemen milik Bara berada di ujung koridor.

Apartemen itu tipe studio dengan kamar tidur dan living room tidak bersekat. Waktu pertama mutia menginjakkan kaki di apartemen itu, Muti tahu jika Bara menggunakannya hanya untuk sekedar beristirahat karena letak rumah yang ada di kaki gunung cukup jauh dengan tempat Bara bekerja.

Setelah sampai di ujung koridor akhirnya Mutia menemukan lokasi apartemen milik Bara. Mutia cukup ragu menekan bel pintu meskipun dirinya dan Metha sudah ada di depan pintu selama beberapa menit.

Metha menggenggam tangan Mutia yang terasa dingin mencoba meyakinkan perempuan itu kalau ia akan baik-baik saja.

Mutia menekan bel pintu itu, beberapa saat kemudian pintu terbuka menampilkan sosok Bara yang tinggi menjulang berdiri di depannya.

Mutia sangat merindukan pria itu, jika diperbolehkan ia ingin memeluk sejenak saja pria itu untuk menuntaskan rindunya.

"Who is that, beib?" Bara menoleh ke belakang ketika Andrea-perempuan yang sama dengan perempuan yang ada di cafe memanggilnya.

Air mata Mutia luruh seketika, melihat perempuan asing itu bangung dari ranjang milik mereka. Perempuan yang hanya memakai pakaian tanktop dan hot pant itu terbangun dari ranjang yang pernah Bara gunakan saat pertama kali laki-laki itu menyentuh Mutia.

Hati Mutia remuk redam menyaksikan perselingkuhan Bara secara langsung. Mutia membekap mulutnya menangis sesenggukan di depan Bara.

Meski kakinya terasa lemas karena terkejut melihat pengkhianatan Bara, Mutia memilih berbalik pergi, memaksa kakinya untuk tetep kuat berlari meninggalkan laki-laki itu.

"Mutia... Mutia.." berulang kali Metha memanggil nama Mutia dan mengejarnya namun perempuan itu enggan berhenti.

Bara hanya terdiam di tempatnya dan tidak mencegah perempuan itu pergi dari hadapannya. Laki-laki itu hanya menghembuskan nafas lelah, kemudian menutup pintu kembali.

"Mutia, kita pulang ya" Mutia menggeleng. Ia berjalan tanpa arah tujuan. Yang dilakukannya hanya ingin berjalan menjauh dari kenyataan yang dilihatnya.

"Mutia kamu mau kemana?" bahkan ucapan Metha sudah tidak ia dengar. Seakan tuli dan buta, Mutia abai dari tatapan dan cibiran orang-orang yang melihatnya seperti perempuan yang putus asa.

Beberapa orang yang tidak memiliki rasa empati merekam Mutia yang menangis sesenggukan di jalan "Tolong dihapus, jangan direkam" pinta Metha kepada orang-orang yang sibuk merekam keadaan Mutia.

Orang-orang yang iba pilih menghentikan aksinya dan menghapus video rekamannya.

"Mut... ayo pulang. Kamu udah jalan kaki satu jam. Kasian bayi lo" pinta Metha yang mengikuti Mutia dengan motornya.

"Mutia,  inget bayi lo. Kasian dia juga capek" pinta Metha sekali lagi membujuk Mutia.

Mutia tersadar, masih ada bayi di dalam kandungannya yang membutuhkan dirinya "Peluk gue Meth, katakan kalau gue cuma mimpi" Metha langsung memeluk Mutia menenangkan gadis itu.

"Iya Mut, elo cuma salah lihat. Kita pulang ya. Kasihann bayi elo kecapean" Mutia mengangguk menuturi permintaan Metha.

TRAPPED (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang