Bab 4

3.4K 284 21
                                    

Rinai hujan menyapa Kota Semarang sore ini. Sinar matahari senja nampak malu mengintip dari balik awan hitam yang terlalu pekat. Sore kelabu selaras dengan hati Mutia yang terasa sendu.

Hati Mutia gusar, Bara hanya diam saja menatap keluar jendela setelah selesai dengan aktivitas ranjang mereka. Pria itu seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Bang" panggil Mutia lirih kala melihat raut wajah Bara yang kentara dengan kekecewaan.

Helaan napas kasar terdengar dari mulut Bara "Mutiara Ayu Rengganis, hebat sekali kamu menipu saya habis-habisan seperti ini" suara pria itu terdengar berat. Bara seperti kehabisan kata-kata untuk menggambarkan betapa sakit hatinya saat ini.

Air mata Mutia luruh, perempuan itu tahu jika suaminya akan merasa kecewa kepada dirinya lebih dari pada sebelumnya.

"Saya sempat berpikir kalau saya adalah laki-laki terbrengsek di muka bumi ini. Betapa jahatnya saya karena telah menodai kamu"

Mutia yang duduk di tepi ranjang beranjak, melangkah tertatih mendekati Bara. "Bang maafin Muti" tangisnya meminta maaf kepada Bara.

"Muti tahu Muti sangat jahat sama abang. Menjebak abang untuk menikahi Muti"

Bara hanya diam mendengar penuturan Muti yang disertai tangis tanpa menyelanya sedikitpun.

"Awalnya, Muti pengin sekolah lagi. Muti pengin wujudin cita-cita Muti jadi dosen.  Muti cepet -cepet kelarin S1 Muti agar bisa segera ambil sekolah S2. Tapi Umi melarang, malah menjodohkan Muti dengan pria yang Muti ga suka. Umi takut ga dikasih umur panjang buat liat Muti menikah"

"Muti pernah minta abang secara baik-baik untuk nikahin Muti tapi abang menolak. Untuk itu Muti ngejebak abang"

"Muti pikir karena perbedaan usia kita yang cukup jauh, kita ga bakal nyambung, jadi kita bisa segera bercerai dan Muti bisa lanjutin sekolah S2 Muti"

Bara memejamkan mata sesaat. Tidak menyangka gadis sepolos Muti bisa mempunyai rencana sebusuk itu. Memporak-porandakan kehidupan Bara sedemikian rupa.

"Jahat sekali kamu, ingin mewujudkan mimpi kamu dengan menghancurkan hidup orang lain" Suaranya lirih tapi benar-bener menghujam ke Hati Mutia.

"Maafin Mutia abang. Muti sayang sekali sama abang. Muti ingin membangun keluarga sama abang. Muti juga ga bakal ngelanjutin cita-cita Muti" sekarang ini Bara sudah bagai oksigen untuk gadis itu. Ibarat kata, Muti tidak akan bisa hidup tanpa Bara.

"Tapi saya tidak"  Telak, kata-kata Bara membuat Muti bagai disambar petir.

"Saya tidak ingin membangun keluarga dengan seorang penipu seperti kamu"  Seberapapun Muti berusaha dan membuktikan kepada Bara bahwa perempuan itu mencintainya dengan tulus, Bara tetap tidak menerima dan memaafkan kebohongannya.

Mutia luruh ke lantai, tangisnya yang tersedu-sedu tidak sedikitpun membuat Bara iba.

Bara melepas cincin pernikahannya dan melemparkan cincin itu ke pangkuan Mutia. "Saya akan urus surat cerainya. Jadi tolong permudah saya untuk lepas dari jeratan tipu yang kamu buat"

Mutia mengusap air matanya menggunakan punggung tangan "Bagaimana kalau Muti hamil bang?" Tanya Muti sebelum Bara melangkah pergi.

Muti khawatir jika ia hamil mengingat aktivitas yang mereka lakukan siang hari ini. Mutia dalam masa subur sekarang. Mutia takut jika ia hamil saat Bara ingin menceraikannya.

"Jika kamu hamil, terserah kamu mau rawat atau kamu gugurin anak itu. Saya tidak sudi memiliki anak dari perempuan licik seperti kamu" ucapnya tanpa hati meninggalkan Mutia sendiri dengan segudang penyesalan.

****

Tok... Tok... Tok.... Terdengar ketukan pintu dari luar kamar kost Metha.

"Iya bentar" Ucap Metha sembari membukakan pintu kamar.

"Astaga Muti, kok basah kuyup gini" Muti sudah menggigil kedinginan akibat hujan deras yang mengguyur kota Semarang.

Muti memeluk tubuh Metha "Meth, abang nyereein gue, dia udah tahu semuanya" tangis Muti pecah kembali di pelukan sahabatnya.

"Udah, udah, kita ganti baju dulu baru elo cerita" Metha mencoba menenangkan Mutia.

Metha dengan telaten mengeringkan rambut Mutia menggunakan hair dryer setelah perempuan itu selesai mandi. Mata mutia terlihat sembap karena terus-terusan menangis.

"Mutia kenapa leher lo?" Metha curiga melihat leher Mutia banyak terdapat bercak merah. Namun perempuan itu tak acuh masih tetap sibuk mengeringkan rambut sahabatnya.

"Makan stroberi lagi lo?" Metha tahu jika semua keluarga Mutia memiliki alergi akut jika memakan buah stroberi.

Mutia menggeleng menandakan tebakan Metha salah sasaran. Perasaan Metha sudah tidak enak. Ia mematikan hair dryer meskipun rambut Mutia belum sepenuhnya kering.

"Jangan bilang elo udah nglakuin 'itu' sama Bara?" Tembak Metha.

Mutia mengangguk dengan mata berkaca-kaca "Ya Tuhan Mutia, kalau elo hamil gimana coba!" Metha tahu betul sifat Mutia yang tidak bisa berpikir panjang. "Elo mau cerai. Kalau sampai elo beneran hamil, elo bakal rawat anak lo sendirian"

"Tunggu di sini, gue beliin pil pencegah kehamilan di apotek" Metha sudah beranjak dari tempat duduknya namun ditahan oleh Mutia.

"Ga usah Meth, ga perlu. Belum tentu juga gue bakal hamil. Toh kalau gue hamilpun, gue pengen lahirin anak gue. Ga papa gue besarin sendirian kalau abang beneran cerein gue" Ucap Mutia.

"Ya gini nih elo. Ngeyel, ga bisa berpikir panjang. Jadi single mother tu berat. Ga gampang Mutia" Metha tahu betul watak Mutia yang keras kepala dan susah kalau dinasehati.

"Meth, abang bakal beneran cerein gue ga ya?" Tanya Mutia dengan tatapan kosong. Perempuan itu tak yakin jika Bara akan mempertahankan rumah tangga dengannya. Tapi Mutia juga yakin jika sebenarnya Bara juga mencintai dirinya.

"Menurut elo gimana?" Tanya Metha balik.

Posisi mereka sedang tidur di satu ranjang kecil milik Metha, ditemani lampu tidur yang cukup redup. Pillow talk antar sahabat setidaknya bisa meringankan beban Mutia.

"Gue ga bakal nyerah yakinin abang. Gue ga mau kalau abang memilih berpisah" itu harapan yang ada di benak Mutia.

"Gue udah cinta mati sama dia" Ucapnya. Mutia bak terjerat dalam perangkapnya sendiri.

"Terus apa rencana elo setelah ini" Metha lebih memilih mendengarkan dan bertanya daripada memberi solusi.

"Gue mau cari kerja aja dulu Meth. Gue juga mau kasih abang waktu buat berfikir ulang. Kalau gue uber-uber dia terus takutnya dia risih sama gue" Ucap Mutia panjang lebar.

"Tidur yuk Meth, udah malem. Gue lelah banget hari ini" entah lelah hatinya atau fisiknya, Mutia hanya ingin memejamkan mata malam ini. Semoga hari esok jauh lebih baik untuknya. Harap Mutia.

TRAPPED (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang