Bab 5

3.4K 305 21
                                    

Sudah satu bulan ini Mutia bekerja di cafe  Momoku milik teman Metha dan sudah satu bulan ini pula Mutia belum bertemu dengan Bara.

Bara benar-benar tidak mencari keberadaannya, tidak merasa kehilangan ketika Mutia tidak disampingnya.

Bahkan pesan terakhir yang Mutia kirim satu minggu yang lalu soal menanyakan kabar pria itu  belum juga dibacanya sampai sekarang.

Mutia juga belum berani menginjakkan kakinya di rumah Bara. Baju, dokumen-dokumen penting, dan barang-barang milik Mutia padahal masih berada di rumah itu.

Selama satu bulan ini, Mutia tinggal di tempat kost Metha dan memakai baju-baju Metha. Untung sahabatnya itu tidak pernah keberatan. Selain itu, ia menggunakan uang hasil kerja di cafe untuk bertahan hidup.

Mutia menghembuskan nafas lelah, kali ini ia mendapat shift malam untuk menjaga kasir. Sudah pukul 21.00 malam, dan satu jam lagi cafe akan tutup.

Terdengar bunyi dentingan lonceng yang menggantung di atas pintu, tanda pintu cafe dibuka oleh pengunjung.

"Selamat datang di momoku cafe"  ucap Mutia menyapa customer yang baru datang.

Pandangan mutia yang semula tertunduk melihat ke arah layar beralih mendongak ke arah customer jangkung di depannya.

Mutia tercengung, pria berbadan tinggi yang mengenakan celana jeans biru tua dengan polo t-shirt hitam itu adalah Bara-suaminya.

Keterkejutanya bertambah kala ia melihat Bara dengan mesranya merangkul pinggang perempuan berkebangsaan eropa. Perempuan berambut dark brown dengan lipstik merah menyala yang terlihat mengulas candaan dengan suaminya.

Mutia meneguk ludahnya, mata perempuan itu sudah berkaca-kaca tidak menyangka jika Bara mampu berbuat sejauh itu. Memeluk perempuan lain secara terang-terangan di depannya padahal status mereka masih suami istri.

"Hello" ucap perempuan bule di depan Mutia sambil melambaikan tangannya. Mutia tersadar dari keterkejutanya, mencoba menetralkan perasaannya yang sendu lalu melayani customernya dengan sikap yang wajar.

"Hello, what can i get for you" ucap Mutia tenang. Bara juga hanya terdiam dan menganggap Mutia bagai orang asing yang tidak ia kenal.

"Can, i have a large iced cappucino please" jeda sesaat, perempuan itu membolak-balik buku menu untuk memesan menu yang lain. "What do you want to order, beib?" Tanya perempuan itu kepada Bara.

'Beib?', jantung Mutia tersentak. Ternyata Bara dan perempuan itu memiliki hubungan yang istimewa rupanya.

"Same as you" ucap Bara sambil tersenyum manis ke arah perempuan itu. Bara bahkan menarik pinggang perempuan itu agar lebih menempel ke tubuhnya.

Tentu saja sikap Bara ini tidak luput dari pandangan Mutia.

Setelah selesai memesan menu, Bara dan wanitanya duduk tidak jauh dari tempat Mutia berada. Pria itu bercengkrama hangat dengan bule perempuan itu dan sesekali mereka saling melempar senyum.

Mutia sangat terkejut saat melihat Bara menggoda perempuan itu dengan menyentuhkan gelas es cappucinonya ke paha bule yang menggunakan dress hitam di atas lutut itu.

Perempuan itu terkejut kemudian dengan spontan mencium pipi Bara memberikan balasannya.

Mutia membalik badan, air matanya luruh membasahi pipi tanpa diminta. Setega itu Bara berbuat demikian di depannya.

Apakah Bara sengaja ingin balas dendam dengan melukai perasaannya? Ataukah sikapnya saat ini ingin memberi sinyal kepada Mutia jika laki-laki itu menginginkan agar Mutia menjauh dari dirinya?

Mutia menghapus air matanya, dia mendongak agar air mata itu tidak luruh kembali.

"Mas Damar" panggil Mutia kepada owner pemilik  Momoku cafe yang sedang berdiskusi dengan seorang barista.

"Ya Muti" jawabnya.

"Mas, maaf banget. Kepala Muti tiba-tiba pusing rasanya mau pingsan. Muti ijin pulang sekarang ya mas" ijin Muti setengah memaksa. Maaf kalau ia membohongi Damar, karena hati Mutia tidak sekuat itu melihat kemresaan Bara dengan perempuan lain di depan matanya.

"Iya Muti ga papa, tinggal setengah jam biar aku yang handle meja kasir" jawab Damar.

Muti mencopot apron lalu menyerahkan apron itu kepada Damar "makasih ya mas" ucap Muti lalu bergegas pergi.

Kepergian Muti tidak luput dari penglihatan Bara. Namun lelaki itu tetap tak acuh dengan kepergian perempuan yang tujuh bulan ini sudah menjadi istrinya.

Muti menapaki trotoar, pulang menuju tempat kost Metha. Perempuan itu menangis kecewa melihat tindakan Bara yang menurutnya kelewat batas.

****

"Bangun Mutia" Metha mengguncang tubuh Mutia yang tertidur pulas di sampingnya.

"Mutia bangun, ini udah jam 6. Lo ga sholat subuh?" Metha terheran, akhir-akhir ini Mutia tidur seperti orang mati. Susah sekali membangunkan perempuan itu.

"Astaghfirullah Metha, kok lo ga bangunin gue dari tadi sih" Mutia bergegas mengambil wudhu lalu menjalankan sholat subuh.

Mutia melipat mukena setelah selesai menjalankan sholat. "Mut, lho nyadar ga kalau akhir-akhir ini lo tidur kayak kebo?" Ucap Metha.

"Masa sih? perasaan lo aja kali" Mutia merasa tidak ada yang berubah dengan kebiasaannya.

Metha menyodorkan test pack yang baru ia beli kepada Mutia "Lo coba deh, menstruasi lo juga udah telat beberapa hari ini-kan?"

Mutia menerima saran dari Metha untuk mencoba alat tes kehamilan itu meskipun perasaannya campur aduk.

Setelah lima menit di kamar mandi, akhirnya Mutia keluar.

"Gimana?" Tanya Metha tidak sabaran. Perempuan itu menunggu di luar pintu kamar mandi dengan cemas.

Mutia memberikan alat itu kepada Metha "Gue ga berani liat, lo aja" Ucap Mutia.

Metha perlahan melihat alat itu lalau menelan ludahnya kasar, "Po-po-positif" ucapnya tergagap.

Mutia merampas test pack itu lalu menutup mulutnya karena terkejut setelah melihat hasilnya. Ternyata benar kata Metha kalau ia positif hamil.

Mutia bersandar ke dinding. Meskipun ia sudah tahu kemungkinan 50% ia akan hamil, tetapi dia tidak menyangka akan sekaget ini. Antara siap dan tidak siap menerima kehadiran nyawa baru di rahimnya. Apalagi melihat kelakuan Bara tadi malam yang membuatnya kecewa.

"Apa rencana lo setelah ini?" Pertanyaan Metha membuyarkan lamunan Mutia tentang kejadian perselingkuhan Bara tadi malam.

"Bilang ke abang kalau gue hamil" Mutia menjeda ucapannya.

"Tapi kalau abang menolak dan suruh gugurin. Gue bakal lahirin dan besarin sendirian tanpa bantuan dari dia" ucapannya tercekat. Tenggorokan Mutia terasa tercekik saat mengutarakan dua kalimat yang membuat hatinya remuk redam.

Metha memeluk Mutia. "Kalau sampai Bara menolak, entar kita besarin anak lo bareng-bareng ya Mut" Ucapan Metha yang ingin membuat hati Mutia tenang tapi malah justru membuat Mutia menangis tersedu. Metha sungguh sahabat yang baik dan tulus, tidak pernah meninggalkannya meskipun kondisinya sedang terpuruk seperti ini.

Mutia belum menceritakan kejadian semalam kepada Metha, ia hanya ingin tidak mengumbar aib buruk suaminya kepada orang lain.

"Nanti sore kita ke dokter kandungan ya. Setelahnya kita temui Bara buat kasih tau kalau elo hamil" Mutia hanya mengangguk mengiyakan rencana Metha. Perempuan itu tidak yakin jika Bara akan mempertahankan bayi mereka.

TRAPPED (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang