Bisa dikatakan, di kantor ini Ella tak punya teman. Mungkin belum. Karyawan sebayanya menempati posisi manager atau staf. Para pengisi posisi manajemen mayoritas berusia agak jauh di atasnya. Kalaupun mereka berjiwa muda pun, Ella agak sungkan untuk menghampiri dan mengajak makan bersama. Yang bisa dipastikan mereka juga sungkan jika harus makan siang dan berbasa-basi.
Niatnya, Ella akan mencari teman dengan yang berusia sebaya ketika dia telah resmi diperkenalkan. Inginnya sih sekarang. Agar mereka bisa menganggap Ella sebagai karyawan biasa dan bukan bos. Tapi sekarang pun sebenarnya bisa dikatakan Ella 'disembunyikan' oleh ibunya. Jadi gerak-geriknya terbatas.
Ella jadi merindukan teman-temannya yang sudah lama tak ia temui. Rencananya, begitu ada akhir pekan yang lowong, Ella mau mengajak teman kuliah atau teman SMA-nya untuk bertemu dan bertukar kabar. Sampai hari itu tiba, Ella harus bertahan dengan kesendiriannya.
Siang ini Ella memutuskan untuk mencari makan siang di kantin atau beberapa gerai restoran yang tersedia di bagian bawah gedung perkantoran. Selama beberapa hari terakhir, makan siangnya diisi makanan kiriman yang dipesan sendiri lewat aplikasi atau melalui asistennya. Makan di mejanya sambil menghadapi berbagai SOP dan laporan. Kali ini, bukankah lebih baik kalau Ella bergerak ke luar dan melihat kondisi dunia di waktu makan siang?
Ella memasuki lift, bergabung dengan orang lain yang juga mau mencari makanan, keluar dan mengantri untuk melewati deretan area scan ID.
Mulanya Ella belum benar-benar memastikan ke mana dia akan mencari makan pertama kali. Tapi matanya menatap sosok familiar dan Ella mendadak yakin ke mana dia harus menuju. ID Card miliknya dilepaskan dari leher dan dijejalkan ke saku. Rambutnya dirapikan dan Ella sekilas menatap pantulan wajahnya di layar ponsel. Merasa semuanya aman, Ella mengikuti Ezra, ke mana dia berjalan.
Ezra rupanya memasuki sebuah restoran mi dan segera duduk di meja yang diperuntukkan bagi 2 orang, letaknya dekat jendela. Begitu duduk, Ezra segera melihat menu.
Memberanikan diri, Ella menghampiri meja itu dan mengetuk dua kali. Ezra mendongak, ekspresinya tidak berubah, hanya keningnya berkerut sedikit.
"Hai, aku Ella. Yang pinjam uang kamu di Starbucks." Senyum terbaik Ella berikan pada orang itu. "Boleh ikut gabung di sini?"
Ezra mengangguk, tangannya bergerak sedikit mempersilakan.
"Thanks," Ella menggeser kursi dan duduk di hadapan Ezra. Sebelum memindai barcode untuk melihat menu, Ella merogoh dompetnya dan meraih uang tunai.
"Ini uang kamu. Aku kembalikan." Ella menggeser uang di atas meja.
Ezra menatap uang tersebut, melirik Ella, lalu mengambil uang sembari mengangguk. Dia pun kembali melihat menu.
Apakah orang ini selalu sedikit bicara?
"Sudah biasa makan di sini?" Ella mencoba membangkitkan pembicaraan sambil melihat menu. Beberapa menu menarik perhatiannya walau pria di depan jauh lebih menarik.
"Begitulah," timpalnya. Ezra meletakkan ponsel dan mengangkat tangan.
"Apa menu yang paling enak?" Udah mau pesen aja? Cepet amat milihnya.
Ezra hanya menggeleng. Ketika pelayan datang, Ezra menyebutkan pesanannya. Sesuatu dengan kata spicy di dalamnya.
"Dua. Saya juga pesan itu." Daripada bingung memesan apa, lebih baik Ella mengikuti saja. Lagi pula akan sepedas apa sih sebuah mi. Di sisi lain, dia bisa membangun obrolan dengan Ezra daripada pusing melihat menu.
"Baik. Mohon tunggu sebentar," ujar pelayan itu.
Dikiranya mereka bisa mengobrol. Ternyata Ezra malah membuka lipatan ponselnya, melihat sesuatu yang sepertinya serius karena matanya benar-benar terpaku ke layar dan kadang dia berkomat-kamit lalu mengetik.
Alhasil, Ella hanya bisa memperhatikan Ezra bekerja di ponsel terbaru keluaran Korea Selatan itu. Ella tak mau ikut bekerja, kepalanya sudah panas. Jadi Ella mau memperhatikan Ezra saja.
Meskipun Ella bisa menghitung jari berapa kata yang keluar dari mulut pria ini, Ella harus mengakui ada kelebihan lain dari dia. Yaitu wajahnya yang seperti artis Korea. Dengan kulit putih bersih, rahang tegas, dan hidung segitiga. Belum lagi gaya rambutnya yang seperti sengaja disisir rapi ke samping.
Duduk di depannya, Ella merasa seperti tokoh perempuan utama rakyat jelata yang mengagumi sang pangeran.
"Silakan. Selamat menikmati."
Dua buah pesanan mi disajikan di hadapan Ella dan Ezra. Ezra mengucapkan terima kasih, menggeser ponsel lipatnya, lalu mulai makan sambil tetap bekerja.
Cara makan Ezra yang rapi namun tetap seperti food blogger, membuat Ella ikut tertarik menyantap pesanannya. Menggulung mie dengan garpu dan menyiapkan kuah dengan sendok, Ella melahap hidangan itu dalam sekali suap.
Mulut Ella mendadak terbakar dan matanya melotot. Susah payah Ella menelan namun segera batuk-batuk.
Ezra melihat Ella yang heboh dan segera bangkit, menepuk punggung Ella sambil menyodorkan air putih.
Diteguknya air putih itu namun Ella tetap batuk. Diteguk lagi, batuk lagi. Diteguk lagi, dan reda. Ezra kembali ke kursinya setelah Ella lebih tenang.
"Pedes banget!" Ella berseru. Padahal warna kuahnya tidak merah.
"Memang," sahut Ezra pelan, heran kenapa Ella protes.
"I can't handle it," Ella menggeleng. Tak kuat membantah Ezra, lebih baik Ella mencari jalan aman. Tangannya melambai, pelayan segera datang. "Pesen satu mi lagi. Apapun. Yang nggak pedes."
Ezra belum melanjutkan makan, sepertinya memperhatikan kondisi Ella dulu. Ella pun bersandar, mengusap peluh dengan tisu, dan menatap ke luar. Dia bisa makan pedas, tapi tidak sepedas itu!
Sepuluh menit kemudian pesanan baru Ella datang. Barulah saat itu Ezra mulai makan lagi. Kali ini Ella pun bisa menikmati pesanannya dengan damai. Dalam diamnya, Ella mengagumi Ezra yang bersedia menunggu hingga pesanan baru Ella datang. Padahal dia tak punya kewajiban untuk itu.
Namun meskipun mereka bisa dikatakan mulai makan di waktu yang sama, ternyata Ezra selesai makan lebih dulu. Ella tidak menyadarinya karena selama makan, mereka benar-benar saling diam. Hanya mereka dengan makanannya masing-masing.
"Duluan," Ezra bangkit, menaruh ponsel ke saku, lalu meninggalkan meja.
"Eh? Ehhh!" Ella gelagapan. Antara menelan mie yang masih di mulut atau mencegah Ezra pergi atau ikut dia pergi.
Susah payah Ella menelan mi dalam mulutnya. Dia juga segera minum air, lalu bangkit dan mengejar Ezra. Sialnya, Ezra sudah menghilang.
"Yah..." Ella mengeluh. Dengan langkah gontai, Ella menuju kasir.
"Sudah dibayar, Mbak," sahutnya ramah.
Ella melongo. Ezra ternyata perhatian juga. "Oke deh. Makasih ya Mbak. Dan maaf yang pertama nggak abis karena saya nggak kuat pedes. Tapi yang berikutnya enak."
Kasir tersebut tersenyum riang dan mengucapkan terima kasih.
Di luar restoran, Ella termenung. "Makan siang hari ini judulnya hot. Ya temen makannya yang hot, ya makanannya yang hot. Biarpun ditinggalin, gak apa-apa."
Di perjalanan kembali ke ruangannya, kebahagiaan Ella sedikit kembali. Setidaknya dia masih punya alasan bertemu Ezra: membalas traktirannya. Sisa hari ini pun dijalani Ella dengan riang.
***
Ngutang lagi deh si Ella! Hahaha.
Silakan vote dan komentarnya ya!
Bab selanjutnya, tunggu hari Senin! ;)
-Amy
KAMU SEDANG MEMBACA
(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)
RomanceElla tak sengaja bertemu dengan Ezra dan tak sengaja juga tertarik pada pria dingin sedingin freezer kulkas itu. Jarang bicara tapi perbuatannya menunjukkan kebaikan hatinya. Permasalahannya, Ezra pernah menikah dan Ella adalah lajang yang sekaligu...