Ezra berdeham. Tak menyangka dia bisa mengatakan hal agak intim begitu.
"Maksud kamu?" Ella bertanya polos, matanya membesar.
"Akan... menimbulkan pertanyaan kalau kita terlalu lama berduaan di sini..." Ezra melirik sekitar mereka. Orang-orang mulai berjalan menuju bungalow dan kamar masing-masing.
"Ah. Iya. Kamarku di sini."
Masih mengusap air matanya yang mengalir dan tanpa tisu yang bisa membantu, Ella mengeluarkan kartu kunci dan pintu pun terbuka. Ella berjalan masuk santai, tapi Ezra lah yang terburu-buru. Dia segera menutup pintu dan bersandar di sana.
"Kamu kok buru-buru? Mau ke toilet?" Ella menunjuk ke belakang.
Menurut Ezra sekarang, Ella terlihat benar-benar lucu. Cute. Wajahnya masih memerah karena menangis. Dia juga baru saja menyatakan perasaannya lagi. Tapi dia juga berdiri sambil menunjuk ke arah toilet. Begitu polos mengira Ezra terburu-buru karena harus buang air.
Maka Ezra tertawa pelan. Melihat Ezra tertawa, Ella malah bengong sekaligus terpukau. Rasanya seperti ada cupid menaburkan serpihan cinta.
"Ya ampun. Aku nggak boleh gini." Ella akhirnya menemukan tisu dan membersihkan air matanya. "Ugly."
"You're not." Ezra menempelkan giginya dalam usahanya tersenyum. "Not ugly at all."
Ezra mengambil tisu lainnya lalu mendudukkan Ella di tepi tempat tidur. Dengan telaten, Ezra mengelap sisa air mata di wajah Ella.
"Buat apa kamu menangis untuk aku?" Tanya Ezra pelan.
Jantung Ella berdegup kencang. Belum pernah Ezra berada sedekat ini di hadapannya. Ella bisa melihat helaian bulu mata Ezra. Yang artinya Ezra juga bisa melihat seluruh wajahnya.
"Kalau bisa, aku juga nggak mau nangis buat orang yang nggak suka aku, Zra." Ella berkata miris.
Ezra tidak menanggapi sindiran Ella, melainkan tetap membersihkan wajah Ella. Ella pikir Ezra hanya bermaksud membantunya. Mengajaknya ke kamar karena akan memalukan jika para karyawan melihat Ella menangis begini.
Dugaan Ella meleset.
Ezra meremas tisu dan memasukannya ke saku–tidak punya waktu untuk mencari tempat sampah. Tangan kanannya sekarang memegang pipi Ella. Detik kemudian, Ezra menempelkan bibirnya ke bibir Ella.
Mata Ella mengerjap. Benar-benar tidak menduga bahwa saat ini, di sini, Ezra akan menciumnya. Benar-benar menciumnya. Menempelkan dan menghisap bibir Ella.
Kekagetan Ella berangsung menjadi keterbiasaan. Kedua tangan Ella melingkar di leher Ezra. Bibir Ella sengaja dibuka lebih lebar hingga Ezra bisa melesak masuk semakin dalam. Mata Ella dipejamkan agar dia bisa merasakan ciuman ini dengan lebih nyata.
Bibir mereka terlepas sejenak. Ella tak mau membuka matanya, hanya menggumamkan nama Ezra.
"Zra..." Ella mendesah.
"Ya," desahan Ezra menanggapi panggilannya.
Pria itu mencium Ella lagi. Ella menarik Ezra lebih dekat kepadanya. Ella merasakan ada gerakan di samping tubuhnya tapi Ella tak bisa memikirkan apa itu.
Sekejap kemudian Ella merasa tubuhnya didorong. Ella berteriak pelan dan membuka matanya. Ezra berada di atasnya, kedua kakinya ada di samping tubuh Ella.
"Is it real?"
"It is," Ezra mengangguk. Tak menunggu lama, Ezra kembali menempelkan tubuhnya ke Ella, mencium Ella sekali lagi, berusaha untuk tidak menindih Ella sehingga gadis itu kehabisan napas. Lebih baik kehabisan napas karena ciumannya daripada ditindih Ezra yang beberapa kilo lebih berat.
Ezra jelas lebih berpengalaman dari Ella. Maka Ezra juga yang berinisiatif untuk menggeser ciumannya dari bibir ke rahang dan ke...
"Mbak!"
Ezra segera melepaskan diri, menoleh ke belakang.
"Mbak Ella di dalam?"
"Itu Gina!" Ella berbisik dalam kepanikan.
Ezra segera bangkit, berlari ke toilet dan menutupnya, bersembunyi di sana.
"Sebentar, Gin!" Ella bangkit dari kasur, merapikan pakaian, lalu membuka pintu. "Ya?"
"Mbak habis nangis?" Gina kaget melihat penampilan Ella dengan pipi memerah dan rambut berantakan.
"Oh," Gugup, Ella merapikan rambutnya. "Begitulah. Inget waktu di Kalimantan. Tapi sekarang udah nggak apa-apa. Kenapa Gin?"
"Nanti jam tujuh kita mulai makan malam dan performance dari divisi. Untuk pakaiannya, HC ngasih ini buat Mbak." Gina menyodorkan satu kantung. Ella mengintip isinya, sepertinya sebuah kaos.
"Oke, Gin. Nanti aku turun. Makasih ya."
"Iya, Mbak. Apa ada hal lain yang Mbak butuhkan? Aku bisa bawakan."
"Hmm, nothing. It's okay. Aku paling mau rebahan dan baca beberapa pekerjaan, lalu mandi."
Dalam hati Ella berharap agar Gina cepat-cepat pergi.
"Baik kalau begitu. Aku juga akan ke bungalow. Tinggal telepon aku aja ya, Mbak."
"Yes. Thanks Gin." Ella akan menutup pintu namun teringat kata-kata Gina barusan. "Eh, kamu bilang apa barusan?"
"Aku di bungalow," Gina menunjuk ke sebelah kanan.
"Ooo oke. Jadi orang-orang sudah pada kembali?" Ella bergerak ke luar, melihat tempat di kanan kirinya.
"Iya, semua mulai siap-siap buat makan malam," Gina mengangguk riang dan polos, tak sadar bahwa atasannya sedang dihadapkan pada sebuah ujian.
"I see. Haha." Ella tertawa tanpa rasa humor. "Benar. Biar nggak telat ya."
"Iya, Mbak. Kalau gitu aku permisi ya."
Gina pun pergi. Ella mundur, masuk ke kamar lalu menutup pintunya. Ezra perlahan-lahan keluar dari toilet.
"Orang-orang di samping udah mulai balik, Zra. Nggak mungkin kamu lewat tanpa ketahuan kalau kamu dari sini." Ella nyengir. "You are stuck with me for the next hour."
***
Hayoh mau ngapain ituuu?
-Amy
KAMU SEDANG MEMBACA
(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)
RomanceElla tak sengaja bertemu dengan Ezra dan tak sengaja juga tertarik pada pria dingin sedingin freezer kulkas itu. Jarang bicara tapi perbuatannya menunjukkan kebaikan hatinya. Permasalahannya, Ezra pernah menikah dan Ella adalah lajang yang sekaligu...