Alana masuk ke mobil Ezra dan langsung mengenakan sabuk pengaman. "Kita makan malam di mana sekarang?"
Namun Ezra tak bergerak, apalagi menyalakan mesin mobil. Ezra malah menatap ibunya lekat-lekat.
"Mama ngobrol dengan Ella?"
"Well," Alana tersenyum. "Ya."
"Tentang?"
"Bukan tentang kamu, kok." Alana senang melihat putranya kebingungan seperti ini.
"Jadi?"
Wah kali ini keras kepala Ezra sedang keluar rupanya.
"Mama akhirnya bilang bahwa anak Mama adalah kamu dan kamu bekerja di Peters Food. Mama juga bilang bahwa kamu sering cerita tentang Ella."
"Ma..." Ezra menegur ibunya.
"Mama nggak bilang lho kalau dia menyatakan perasaan ke kamu. Selanjutnya kami mengobrol soal pekerjaan kami masing-masing."
Ezra masih tampak tidak nyaman.
"Nak, Ezra anak Mama paling besar," Alana meraih tangan Ezra dan menepuk-nepuknya. "Mama pasti melindungi kamu, harga diri kamu, dan pilihan kamu. Tadi, Mama hanya mendekatkan diri pada Ella karena sebelum kamu cerita pun kami sudah pernah ketemu. Lalu kami mengobrol dan Mama cukup cocok sama dia. Bukankah nilai plus bahwa dia dan kamu bekerja di kantor yang sama?"
Ezra akhirnya menyerah. "Fine." Dia pun kembali mengenakan sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil.
Topik tentang Ella pun sekilas terlupakan selama dalam perjalanan. Alana kembali menceritakan kesehariannya pada Ezra. Sebuah rutinitas yang mereka lakukan setiap Jumat sore. Ezra mendengarkan dengan saksama, kadang memberi komentar, kadang hanya mengangguk saja.
Barulah ketika mereka berada di tempat makan, Alana berniat kembali mengangkat topik perihal Ella.
"Tapi ya Zra, kalau Mama boleh berpendapat..."
Ezra tak jadi mengambil kerupuk yang tersedia di meja. Dia kembali mendengarkan ibunya.
"Ella adalah pribadi yang baik. Saaangat baik dan berpengetahuan, juga punya visi. Ella juga sopan dan penyayang."
Ezra menelan ludah.
"Kalau Mama boleh jujur. Feel-nya sungguh beda dengan waktu kamu pertama kali perkenalkan Annisa ke Mama. Yaaa, Mama lihat Annisa memang cantik dan ramah. Tapi ada sedikit diri dia yang agak... gimana ya bilangnya, arogan?"
"Mama berpikir begitu?" Ezra terkejut. Alana tak pernah menyebut apa-apa.
"Iya. Tapi Mama nggak cerita karena kamu kan jarang punya pacar. Apalagi waktu kamu memaksa harus segera menikahi Annisa."
Ezra memijat kepalanya. Apalagi ketika ingat alasan dia ingin menikahi Annisa secepat mungkin adalah karena mereka sudah bercinta.
"Di diri Ella, walau Mama tahu latar belakang keluarganya, dia malah sangat rendah hati."
Ezra mengambil botol cuka agar ada yang bisa dikerjakannya.
"Tapi dia pernah berbohong, Ma. Sebelum penobatannya, dia bilang dia karyawan Corporate Affairs."
"Oh?"
Ezra mengangguk. "Dan aku merasa dibohongi karena itu."
Alana ikut mengangguk-angguk. "I know. Wajar kamu merasa dibohongi oleh Ella karena dia tidak mengaku bahwa dia sebenarnya CEO. Tapi Zra."
Ezra mengedip, menunggu kelanjutan ucapan Alana.
"Kalau tidak melihat dia sebagai CEO, bukankah kamu jadi tidak tahu kepribadian dan karakter Ella yang sebenarnya?"
Alana menepuk tangan Ezra. "Kalau kalian berkenalan setelah dia jadi CEO, lalu dia bersikap baik, bukankah kamu akan berpikir bahwa dia baik hanya karena posisinya, pencitraan. Dan kamu tidak melihat bagaimana dia sebenarnya?"
Ezra menelan ludah.
"Mungkin itu juga maksud Ella. Seseorang yang berada di posisi tinggi kadang tidak dilihat sebagai manusia atau sebagai diri mereka sendiri, Zra. Mereka akan dilihat sebagai orang suci dan tanpa dosa yang menduduki puncak pimpinan. Bukankah untung bagi kamu bisa melihat sisi kehidupan Ella yang seperti itu? Terlepas dari label dirinya sebagai seorang CEO?"
Ezra terpaksa mengangguk.
"Tetap. Dia belum meminta maaf secara tulus karena berbohong."
"Baik. Itu urusan kalian. Tapi Mama tetap mengapresiasi kerendahan hati Ella."
"Ella juga tujuh tahun di pedalaman Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, Ma."
"OH YAAA?" Alana benar-benar membelalak dan volume suaranya naik. Orang-orang jadi memperhatikannya. "Untuk apa?"
Ezra mengangkat bahu. "Setelah lulus dan tidak lama setelah Pak Joseph meninggal, katanya Ella jadi relawan. Maka dari itu kami banyak yang tak kenal dia."
"Wah," Alana bertepuk tangan. "Hebat."
Ezra hanya menggerutu tanpa suara.
"Dan itu semakin menguatkan Mama untuk memberi dia restu."
Ezra mendadak batuk. "Restu? Restu apa?"
"Restu untuk kalian. Kamu dan Ella." Alana tertawa lebar. "Mama merestui kalian jika kamu mau menikahi dia dan yaaa dia mau menerima kamu yang seperti ini."
Mata Ezra menyipit berbahaya. "Seperti ini tuh maksudnya bagaimana, Ma?"
"Irit bicara. Sayang sama Mamanya. Pekerja keras. Penyayang. Rajin menabung. Suka main game sampai begadang. Gampang dimintai tolong. Suka beres-beres rumah..."
"Oke oke, Ma. I get it." Ezra mengangkat tangan.
"Jadi gimana? Sudah ketemu jawaban untuk pertanyaan kamu?"
Ezra memalingkan wajah. Dia tak mau melihat ke arah ibunya kali ini.
"Zra?"
"Belum, Ma. Sejauh ini masih tidak."
Alana merengut. Agak kecewa dengan jawaban putranya. Tapi Ezra lah yang akan menjalani hubungannya. Jika berhasil, ini akan jadi pernikahan kedua Ezra. Bagi Alana sekalipun, dia tak mau ini gagal lagi. Apalagi dengan kandidat yang sepenuhnya disetujui dirinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)
RomanceElla tak sengaja bertemu dengan Ezra dan tak sengaja juga tertarik pada pria dingin sedingin freezer kulkas itu. Jarang bicara tapi perbuatannya menunjukkan kebaikan hatinya. Permasalahannya, Ezra pernah menikah dan Ella adalah lajang yang sekaligu...