Babak 10 - Too Much Thinking

2.5K 379 17
                                    

Edgar bangun agak siang seperti biasa ketika akhir pekan. Tidak heran juga ketika dia turun, kakaknya sudah tiba. Tapi yang membuat Edgar heran, Ezra bukan membantu ibu mereka atau menonton televisi dengan tatapan kosong, melainkan sedang sibuk mengetik.

"Kerja, Kak?" Edgar melongok di samping pundak Ezra, melihat layar.

"Iya." Singkat jawaban Ezra, seperti biasa.

"Tumben," Edgar melesakkan diri di sofa, di belakang Ezra yang duduk di lantai. "Maksudnya, tumben bawa kerjaan ke rumah ini."

Ingatan Ezra pun kembali ke hari Jumat siang di mana dia mengikuti rapat bersama BoD. Rapat yang dipimpin oleh CEO, siapa lagi kalau bukan Ella, membahas banyak hal begitu dalam dan detail. Sejujurnya, Ezra berusaha keras untuk bisa berkonsentrasi dalam rapat yang penting ini, alih-alih memperhatikan bagaimana cara Ella memimpin rapat.

Mungkin memang dia memiliki kemampuan. Mungkin dia pembelajar yang baik. Mungkin dia sesederhana mau mendengarkan orang yang lebih berpengalaman darinya.

Meskipun panjang dan berliku, tapi rapat berjalan lancar. Biarpun artinya Ezra harus membawa PR.

"Udah sarapan, Nak?" Alana muncul dari halaman.

"Belum, Ma." Ezra mendongak sekejap, lalu kembali ke laptop.

"Mama buat bubur dulu untuk sarapan ya."

"Mantap!" Edgar mengepalkan tangan.

"Terima kasih, Ma," timpal Ezra.

Sementara ibunya di dapur, Ezra tiba-tiba saja ingin bertanya pada adiknya. Adik yang sebentar lagi akan memasuki siklus pernikahan.

"Gar..." Ezra memutar tubuhnya.

"Apa?" Edgar menghentikan film yang dia tonton di Netflix demi memperhatikan kakaknya.

"Menurut kamu..."

Edgar menegakkan tubuh. Jarang-jarang kakaknya yang lebih bijak ini bertanya dan meminta saran darinya. Maka dari itu Edgar begitu excited.

Ezra berdeham. "Gimana jika... perempuan..."

Edgar semakin excited. Dicengkramnya bantal kursi lebih keras. Pasalnya, ini pertama kalinya Ezra membahas soal perempuan setelah bercerai.

"Punya jabatan lebih tinggi dan pendapatan lebih besar?" Ezra berhati-hati untuk tidak menyebut 'perempuan itu bosmu' agar tidak menimbulkan pertanyaan lebih dari adiknya.

"Hah?" Edgar bingung dengan pertanyaan kakaknya.

"Ah sudahlah," Ezra kembali memutar tubuhnya.

"Eh jangan dulu balik. Maksudnya, ceweknya itu penghasilannya lebih gede dari cowoknya gitu?"

Ezra berputar lagi, lalu mengangguk.

"Gimana ya Kak. Aku bukannya gak suka perempuan punya penghasilan. Tapi bukannya cowok yang harusnya jadi tulang punggung? Mau ditaro di mana harga diri kalau malah cewek yang ngasilin duit lebih banyak? Belum lagi kalau itu bikin dia jadi sombong terus gak ngehargai cowok sebagai kepala keluarga?"

Jawaban Edgar mirip dengan apa yang dipikirkn oleh Ezra. Yang menyebabkan dia menjauhi Ella. Walau di satu sisi, Ezra tak yakin bahwa Ella tidak akan menghargainya sebagai laki-laki...

"Tapi kalau dia tak pernah membahas soal keuangan?"

"Gak peduli atau memang lagi gak bahas aja? Kalau mau nikah kan pasti harus dibahas. Kan lu yang ajarin gue."

Ezra mengusap kepalanya.

"Iya kak, aku tahu sekarang juga udah banyak rumah tangga yang perempuan punya penghasilan lebih baik dari laki-lakinya. Memang gak apa-apa. Rumah tangga mereka, ya mereka yang atur. Tapi aku maunya aku tetep punya penghasilan lebih baik dari istriku nanti. Coba deh liat Papa."

"Kenapa Papa?"

"Iya Papa kerja keras buat kita keluarga, lalu bisa bantu Mama juga dengan minat Mama di sekolahan. Kan seneng Kak kalau lo bisa effort lebih besar supaya istri dan anak lo seneng. Bukannya si istri yang effort lebih gede buat lo."

Tapi Ella tak perlu berupaya keras untuk bisa memiliki penghasilan lebih.

"Memangnya siapa? Kakak naksir bos? Hah yang bener?"

"Jangan asal," Ezra kembali menghadap laptop. "Cuma studi kasus."

"Yeee," Edgar mencebik. Tak ambil pusing, dia menonton lagi.

Tapi Ezra memikirkan ucapan Edgar. Kata per kata.

*** 

(S)He's The Boss! (END - WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang