Bab 15. Masalah Tristan

63 6 0
                                    

.
.
.

Gedung berlantai 17 itu tampak menjulang tinggi dan membuat Saga berulang kali menatap layar ponselnya yang menunjukkan alamat dari Tristan. Tetapi, berulang kali dia mengeceknya, alamatnya sudah benar.

"Serius dia tinggal di sini?" Tanya Aksel ragu.

Saga juga merasa ragu, kemudian dia memutuskan untuk menghubungi Tristan.

'Halo?'

"Tan? Ini gue udah ada di depan gedung, lo nggak salah kasih alamat, 'kan?"

'Oh, langsung masuk aja. Di lobi nanti lo bilang aja tamunya Tristan, gue turun dulu.'

Lalu sambungan itu ditutup oleh Tristan.

"Gimana?"

"Bener, kok. Katanya dia mau turun. Kita masuk aja dulu."

Keduanya melangkah memasuki gedung yang bisa dibilang tidak begitu mewah namun juga tidak sederhana.

Setelah bertanya pada resepsionis, keduanya menunggu sebentar sampai kemudian Tristan muncul dari dalam elevator.

"Saga!"

Terlihat pemuda mungil itu setengah berlari menghampiri Saga dan Aksel.

"Lo dateng juga, akhirnya," ucapnya penuh kelegaan. "Hai, Aksel."

"Gue butuh penjelasan lo, ini gue baca di grup kenapa lo—"

"Gue jelasin di dalem, kita masuk dulu."

Tristan meminta Saga dan Aksel mengikutinya memasuki elevator. Keduanya masih bingung. Pasalnya seorang mahasiswa seperti Tristan, alih-alih menempati sebuah kosan, justru tinggal di apartemen yang isinya orang-orang kantoran?

Memang sih, selama ini Tristan terlihat agak 'mahal' dalam penampilan. Meski hanya beberapa kali mereka bertemu, namun itu bisa terlihat jelas.

Ketiganya sampai di lantai 7, lalu setelah keluar dari elevator mereka menyusuri lorong menuju ruangan yang terletak di ujung.

Mereka berhenti di depan pintu dengan angka 13 terpampang di sana.

"Silahkan masuk," ucap Tristan yang mendahului, diikuti Saga dan Aksel.

Mereka duduk di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang santai. Sementara Tristan mengambilkan minum untuk mereka.

"Thanks, ya, udah mau dateng," ucapnya sambil meletakkan botol minuman di atas meja.

"Jujur gue kaget karena lo tiba-tiba nelepon. Karena gue ada kelas, jadi gue sama sekali nggak liat apa yang terjadi di grup. Ini kenapa?"

Saga membuka botol minumannya, meneguknya untuk menghilangkan dahaga akibat cuaca panas di luar.

Tristan menatap Saga ragu, namun tampak dia ingin menyampaikan sesuatu.

"Jadi, anggap aja gue nggak sengaja bocorin data klien yang gue kerjain, dan itu ketahuan oleh orang lain yang langsung menghubungi Serenity."

"Bocorin gimana maksud lo?"

Tristan tampak putus asa, namun dia berusaha bersikap tenang untuk menjelaskan situasinya pada Saga.

"Lo tau, 'kan, gue dapat tugas bikin logo perusahaan konstruksi? Gue di suruh bikin logo anak perusahaan yang sebagian unsurnya diambil dari logo perusahaan inti. Nah, pas gue ngerjain itu dengan tenang seperti biasa, tiba-tiba Papa dateng."

Saga mengernyit bingung pada penjelasan Tristan yang menurutnya tidak sesuai itu.

"Lalu apa masalahnya?"

"Masalahnya ... Papa liat gue yang ngerjain itu. Dia nggak menyangka kalo gue yang bikin. Apalagi Papa nggak tau sama sekali kalau gue kerja paruh waktu."

"Tunggu deh, Tan. Jadi, Papa lo marah karena lo kerja, apa gimana? Kok di grup ramenya bahas data rahasia klien. Ini Papa lo bilang ke Serenity, gitu?"

Tristan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, sebelum menatap Saga kembali.

"Masalahnya, perusahaan itu punya Papa."

Kedua manik Saga membola saat mendengar ucapan Tristan. Begitupun Aksel yang menganga tak percaya.

"Hah?"

Perusahaan yang lo kerjain itu punya Papa lo? Bokap lo kerja di sana apa gimana?" Racau Saga bingung.

"Akan lebih nyaman kalo beneran kayak gitu. Tapi ini beneran. Perusahaan konstruksi itu milik Papa."

Tristan menunduk, berusaha untuk tidak langsung bersitatap dengan Saga.

"Gue nggak bisa berkata-kata, jujur gue kaget." Saga hanya menatap Tristan tak percaya.

"Nah, Papa langsung menginterogasi gue kenapa gue bisa ngerjain proyek itu, darimana gue tau proyek itu, lalu akhirnya Papa tau gue kerja."

"Terus akhirnya Papa menghubungi Serenity, nanya perihal aturan kepegawaian di sana, kenapa gue bisa kerja di sana, dan tentu Papa nggak terima gue ada di sana."

Tristan mengusap wajahnya kasar, sementara Saga dan Aksel hanya bisa diam dan menunggu penjelasan Tristan selanjutnya.

"Jujur gue nggak nyangka, Tan."

"Lalu yang jadi kebingungan gue, kenapa lo kerja kalo kenyataannya lo anak orang kaya?"

"Gue cuma pengen mandiri tanpa numpang nama Papa nantinya."

Getaran dari ponsel Saga mengalihkan perhatian mereka.

Mbak Jihan calling...

Belum sempat Raga terkejut karena Tristan, sekarang dia baru ingat ada Mbak Jihan yang menunggunya.

"Siapa? Kenapa nggak diangkat?"

Saga ragu namun akhirnya dia menunjukkan layar ponselnya pada Tristan.

"Mbak Jihan. Dia udah nungguin gue di Serenity," jawab Saga.

"Ga, ini permintaan gue. Please banget lo jelasin ke Mas Raka dan Mbak Jihan. Lalu, gue mau lo lanjutin tugas gue itu. Gue sendiri kayaknya nggak bisa."

Tristan beranjak dari duduknya, lalu kembali dengan sesuatu di tangannya.

Laptop yang sudah terbelah dua.

"Data gue hilang karena Papa banting semuanya sampai kayak gini."

Saga melongo, dia tidak menyangka teman mungilnya itu memiliki cerita yang rumit seperti ini.

Ponselnya kembali bergetar.
Masih dari Mbak Jihan.

"Angkat aja daripada lo kena semprot." Aksel akhirnya bersuara setelah diam sejak tadi.

Ragu, Saga menjawab panggilan itu.

"Halo, Mbak—"

'Lo niat datang ke sini apa nggak? Jangan buang waktu gue kalo emang lo nggak bisa.'

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

My Strict Senior ✅ END (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang