Bab 21. Memulai Yang Baru

65 7 0
                                    

.
.
.

Senja baru saja meninggalkan semburat indahnya di ufuk barat. Malam sudah mulai menjelang karena sang bulan sudah berkilau keemasan dari timur. Suasana yang tenang dan menyenangkan, namun sayangnya tidak dengan dua pemuda yang kini menikmati pemandangan langit itu dalam diam.

Menyesap kopi di tangannya, Tristan duduk bersandar dengan tatapan menerawang ke langit, sementara Saga melakukan hal yang sama dengan colanya. Keduanya berjanji untuk bertemu sepulang dari jadwal kuliah masing-masing.

"Setelah ini, lo akan ngapain, Tan? Kuliah aja atau lo mau nyari freelance lain?" Tanya Saga memecah suasana diantara mereka.

"Kayaknya gue kuliah dulu, Ga. Kemarinan itu gue dimarahin abis-abisan sama Papa. Kenapa gue kerja freelance padahal semua kebutuhan gue udah terpenuhi. Katanya gue bikin malu keluarga," jawab Tristan sambil tersenyum miris.

"Ya, lo aneh sih. Dimana-mana kalo punya keluarga kayak lo pasti lebih milih menikmati daripada susah-susah nyari kerjaan. Apalagi lo juga belum beres kuliahnya," ucap Saga berpendapat.

Memang ya, kadang mau dipikirkan seperti apapun, wajar kalau manusia mengatakan dunia tidak adil apalagi jika dilihat dari situasi antara dia dan Tristan. Perbedaan lingkungan dan kehidupan yang cukup jauh.

"Gue nggak mau menikmati hasil orang tua gue begitu aja tanpa tau proses sulit dalam pencapaiannya. Ya, meski jalan yang gue ambil berbeda, tapi gue mau belajar cara menghasilkan uang sendiri. Biar gue nanti bisa menghargai setiap hasil yang gue miliki."

Saga tersenyum, lalu menepuk bahu Tristan dengan salut. "Gue nggak nyangka, anak orang kaya seperti lo bisa mikir kayak gitu. Padahal kalau dipikir-pikir lo pasti nggak pernah hidup susah."

"Ya, justru karena gue nggak pernah susah. Gue jadi bisa melihat kesusahan di sekitar gue dengan lebih obyektif, kenapa mereka kesusahan, apa yang mereka lakukan dalam kesusahan itu. Dan jujur, gue merasa kagum pada orang-orang yang berjuang untuk hidupnya. Nggak nyerah sama hidupnya."

"Lo tau nggak, Tan? Gue sekarang jadi kagum sama lo, sama pemikiran lo, juga cara lo menyikapi semuanya."

"Apa sih, lo." Tristan terkekeh mendengar ucapan Saga, lalu mata sipitnya itu menatap Saga serius.

"Maafin gue ya, Ga. Karena gue lo kena imbas dan hampir di putus kontrak juga. Tapi gue lega, lo masih bisa melanjutkan apa yang lo suka di Serenity. Gue sekarang nurut Papa aja dulu, dari pada kena larangan ini-itu, gue repot ntar," ucap Tristan sambil tertawa.

"Gue jadi nggak ada partner buat diomelin Mbak Jihan."

"Ada Salsa, 'kan?"

"Beda lah, maksud gue kan partner brother," gerutu Saga dengan wajah merengut hingga Tristan kembali tertawa.

"Gue nggak kemana-mana ya, kapanpun lo butuh bantuan, gue siap bantuin. Gue juga akan sering-sering main ke kosan lo sama Aksel."

"Beneran nih? Gue udah terlanjur suka bertemen sama lo."

"Iya, bener. Elah, nih anak ternyata kayak anak kecil juga," gerutu Tristan menatap Saga yang masih kusut, namun kemudian keduanya tertawa bersama-sama.

Setidaknya, Serenity mempertemukan mereka. Membuat yang awalnya asing menjadi teman yang saling mendukung satu sama lain.

***

"Jadi, Han, apa yang akan lo lakukan sekarang? Mau langsung kasih tugas ke Saga apa gimana?"

"Iya lah, ngapain dia dipertahanin kalo nggak kerja? Lo udah ngomong ke Salsa soal penawaran kontrak baru?" Tanya Jihan balik pada Raka.

Keduanya sedang berada di ruangan Jihan karena ini sedang jam istirahat kantor. Mereka tidak makan luar, dan sekarang sedang menunggu delivery order yang mereka pesan.

"Gue belum bicara ke Salsa, kayaknya nunggu akhir bulan ini sih. Biar sekalian sama berakhirnya kontrak yang sekarang."

Jihan mengangguk mendengar penjelasan Raka.

"Bagi ke gue dong, Ka. Jadwal tuh anak, biar gue nggak kerepotan nyari dia."

"Biasanya juga lo nggak peduli."

"Sekarang 'kan gue sama lo yang jamin dia di sini. Gue harap udah stop apapun  itu, yang bikin masalah lagi. Kerjaan makin banyak, nggak perlu nambahin pusing."

Raka tertawa mendengar gerutuan Jihan. Setidaknya semua pekerjaan di kantor mendistraksi mereka, sehingga tidak sepusing kemarin karena masalah Tristan.

"Semoga aja sih, kali ini kita nggak salah kasih kepercayaan lagi sama orang."

"I hope so, Raka."

Ya, mereka berdua pernah salah meletakkan kepercayaan pada seseorang di masa lalu.

Seseorang yang membuat Jihan dan Raka harus bertanggung jawab penuh pada hampir sebagian besar klien mereka. Kenangan buruk yang ingin mereka lupakan.

***

Saga sedang berada di taman kampus, mengedit beberapa tugasnya sampai bunyi notifikasi dari ponselnya membuatnya teralihkan.

'Saga, ini gue Jihan. Lo udah siap nerima tugas lagi?'

Perasaan berdebar itu kembali dirasakan oleh Saga saat membaca pesan dari Mbak Jihan. Seperti akan menghadapi ujian yang menentukan kelulusan rasanya.

"Saya siap, Mbak. Saya udah menantikan tugas dari kantor."

'Oke.'

Lalu setelah jawaban pendek dari Jihan, kini muncul notifikasi pesan baru pada surelnya.

'Cek email, udah gue kirim. Untuk progresnya nanti lo langsung laporan sama gue.'

Langsung ke Mbak Jihan, ya, sekarang?

"Baik, Mbak."

'Oke.'

Singkat, padat dan jelas. Seperti itu kesan yang didapatkan Saga dari pesan Mbak Jihan. Rasanya kenapa agak tertekan, ya? Tapi apapun itu, Saga harus memanfaatkan kesempatan kedua yang didapatkannya ini dengan baik. Demi Bundanya juga dirinya sendiri.

.

.

Bersambung.

Riexx1323.

My Strict Senior ✅ END (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang