Ini tahun ketiga perempuan itu bersekolah di Sekolah Menengah Atas. Dia sudah tidak sabar menantikan dirinya lulus dari tempat tersebut. Berkuliah di luar kota, dan masuk ke kampus ternama.
"Aduh gue pusing banget, bentar lagi lulus tapi masih bingung mau ambil apa." Keluh Aruna, sahabatnya.
Perempuan itu tersenyum, ia mengusap punggung sahabatnya pelan. "Nggak apa-apa, nanti juga ketemu kok yang sesuai passion kamu," ucapnya.
Aruna menghela napas kasar. "Kalo gue sepinter lo juga, gue mau ambil kedokteran. Tapi sayang otak gue nggak nyampe Gi."
"Ya lo jangan nyamain diri lo sama Gianna banget lah Run. Kita PR matematika aja masih suka nyontek dia," timpal Adista, sahabatnya yang lain.
Yang sedang dibicarakan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum. Teman-temannya itu memang lucu sekali.
Sekarang mereka sedang berada di kantin sekolah. Aruna dan Adista memesan semangkuk bakso dan es jeruk. Sedangkan Gianna membawa bekal dari rumahnya. Gianna sudah terbiasa melakukan hal tersebut sejak Sekolah Dasar. Selain hemat, ia juga tidak perlu takut dengan kandungan nutrisi yang ada di makanan miliknya.
Selalu, setiap kali ada kesempatan Gianna akan berkunjung ke perpustakaan. Seringkali bu Asih, penjaga perpustakaan meminta untuk menggantikannya sebentar. Karena keadaan ekonominya kurang, gadis itu harus berusaha lebih keras untuk belajar. Dia tidak bisa seperti temannya yang lain, seperti les privat dan membeli buku, Gianna hanya mengandalkan buku pinjaman dari perpustakaan sekolahnya.
Dokter sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Apalagi sejak ayahnya meninggal karena penyakit kanker, saat itu dirinya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama. Karena biaya kemo yang terlalu mahal, ibunya kesulitan untuk membayarnya. Karenanya sang ayah meninggal lebih cepat tanpa melakukan pengobatan apapun waktu itu.
Gianna masih menyesali hari itu, dimana ia belum mengerti apa-apa tentang penyakit ayahnya. Sejak itu, dia mulai mendalami ilmu kedokteran. Bertekad agar bisa mengobati siapapun, tanpa memandang status ekonominya. Dan selalu memprioritaskan pasien dalam keadaan apapun.
Setiap sore Gianna selalu menjemput ibunya di tempat kerja. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sudah lima tahun sejak sepeninggal ayahnya, ibu harus bekerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarga.
Perempuan itu mengayuh sepedanya, berjalan melintasi komplek sambil menikmati hembusan angin di sore hari. Sebenarnya jarak antara rumahnya dan rumah majikannya itu tidak terlalu jauh. Namun sudah sebulan, ibunya meminta Gianna untuk menjemputnya sepulang kerja. Karena kakinya sudah tidak mampu berjalan sejauh itu.
Sepedanya ia berhentikan di depan pagar rumah mewah itu. Rumah yang besarnya tiga kali lipat dari kontrakan kecil miliknya. Seperti biasa, Gianna duduk di samping kolam ikan, mengambil buku yang tadi dipinjamnya, lalu membacanya disana.
Karena terlalu fokus, perempuan itu sampai tidak sadar ada seseorang di hadapannya. "Hei, hei mbak haloo?" Laki-laki itu sampai melambaikan tangan di depan wajahnya.
"Eh, hah kenapa ada apa mas?" Perempuan itu refleks berdiri, dan menutup bukunya.
"Ah itu di depan sepeda lo bukan ya?"
"Oh iya, kenapa ya mas?"
"Sepeda lo ngehalangin mobil gue buat masuk ke dalem."
Gianna langsung berlari menuju ke parkiran sepedanya. "Maaf ya mass.." ucapnya dengan rasa bersalah.
"Masukin kedalem aja." Tau-tau dia sudah berdiri di belakangnya.
"Nggak apa disini aja mas. Lagian bentar lagi ibu pulang kok," jawab Gianna.
"Oh lo anaknya bi Mira?" Tebaknya.
"Kok masnya tahu?"
"Gue kan anaknya yang tinggal di tempat ini." Gianna hanya ber-oh ria menanggapinya.
"Parkir di dalem aja nggak apa-apa, nanti dicuri loh sepedanya."
"Oh oke mas." Akhirnya perempuan itu menyetujui ucapannya. Repot juga kalo sepeda satu-satunya itu dicuri, bisa-bisa ia jalan kaki ke sekolah.
Mobilnya sudah terparkir rapi di garasi rumahnya. Saat Gianna akan kembali duduk di bangkunya, laki-laki itu memanggilnya.
"Lo nggak mau nunggu di dalem aja? Udah mau gelap loh ini."
"Emang boleh mas?" Tanyanya hati-hati.
"Boleh dong, ayo ikut gue."
Ini pertama kalinya Gianna memasuki sebuah rumah mewah tempat kerja ibunya. Matanya tidak berhenti berbinar menatap benda-benda di sekitarnya. Ia seperti sedang berada di dalam istana. Rumah bergaya eropa klasik itu, akan menjadi rumah impiannya.
Laki-laki itu membawanya bertemu dengan ibunya di dapur.
"Ya ampun ndukk kamu ngapain to disini." Ibunya memberi pukulan pelan pada lengan Gianna. Beliau masih belum menyadari ada seorang laki-laki di belakang tubuh putrinya.
"Eh mas Abimana, aduhh maaf ya jadi repot-repot nganterin Gianna masuk kedalem."
"Nggak repot kok bu, aku ke atas dulu ya. Bunda udah pulang belum bu?"
"Udah mas, kayaknya masih duduk di halaman belakang sama bapak."
"Oh yaudah makasih ya bu." Laki-laki yang diketahui bernama Abimana itu, meninggalkan sepasang ibu dan anak berdua di dapurnya.
Sebelum Abimana berbalik, Gianna menghentikan langkahnya. "Makasih mas Abim," ucapnya.
Laki-laki itu kembali berbalik untuk tersenyum dan membalas ucapannya. "Iya sama-sama Gianna."
****
Aruna Larasati
Adista Ayu Wulandari
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (End)
Fanfiction"Kalau aja waktu itu kita nggak ketemu, kalau aja dulu kita nggak mutusin buat saling kenal, mungkin sekarang hidupku nggak akan sebahagia ini. Thank you Gianna, for choosing me to be a part of your life." -Abimana