sunday morning

488 69 2
                                    

Minggu pagi Abimana berencana mengajak Gianna untuk bersepeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minggu pagi Abimana berencana mengajak Gianna untuk bersepeda. Pagi pagi sekali ia sudah berada di depan rumah perempuan itu. Dia mengetuk pintu rumah tersebut, dan munculah seseorang yang dinantikannya.

Gianna mengenakan pakaian rumahannya, sepertinya perempuan itu baru bangun tidur, terlihat jelas dari penampilannya. Dia menguap, masih dengan matanya yang terpejam setengah sadar.

"Siapa ya?" Tanyanya sembari membuka pintu tersebut, dan saat pandangan mereka bertemu, seketika kesadaran Gianna kembali penuh. Dia otomatis menutup kembali pintu rumahnya karena malu.

"Hei hei Gia kenapa ditutup lagi sih pintunya?!?" Laki-laki itu mengetuk-ngetuk pintu rumahnya seperti maling.

"Ya lagian ngapain sih kamu disitu?" Balas Gianna dari balik pintu rumahnya.

"Ngajak lo main lahh."

Krekk. Pintu itu kembali dibuka olehnya.

"Masuk." Perintah Gianna tanpa melihat ke arah laki-laki itu. Dia menutupi wajahnya dengan rambut panjang miliknya sambil menunduk.

Perempuan itu menyuruh Abimana duduk di ruang tengah. Sementara dirinya pamit mengacir pergi ke kamar mandi untuk bersiap.

Dia terkekeh gemas di tempat duduknya. Selagi menunggu perempuan itu bersiap, matanya tidak sengaja mendapati foto keluarga, keluarga Gianna. Mereka tertawa lebar, di foto tersebut sepertinya Gianna masih berumur sekitar 7 tahun. Di atas nakas terdapat foto kecil perempuan itu. Disitu Gianna tersenyum menampilkan gigi-giginya yang ompong.

Waktu berlalu dengan cepat. Perempuan itu sudah rapi mengenakan celana jeans pendek dan jaket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya.

"Kenapa sih kalo mau ngajak pergi nggak ngasih tau duluu." Kesal Gianna.

"Kan udah gue kasih tau tadi."

"Minimal kemaren lah ngasih taunyaaa."

"Yaudah iya maaf ya Gianna." Dia berucap sambil menepuk-nepuk puncak kepala perempuan itu.

"Mau ngajak sepedaan? Eh tapi sepedaku kan dibawa ibu kerja kalo libur."

"Kan bisa boncengan."

Gianna mengernyitkan dahinya bingung. Pasalnya sepeda laki-laki itu tidak ada tempat duduk untuk penumpang di bagian belakangnya. Dengan tenang Abimana menepuk bagian depan top tube nya.

"Hah aku duduk disitu??" Tanya Gianna memastikan.

"Iya sini." Abimana menarik telapak tangan perempuan itu untuk mendekat ke arahnya.

"Nanti kalo jatuh gimana?" Meskipun takut Gianna tetap menuruti laki-laki itu untuk duduk disana.

"Kan ada gue yang jagain."

"Beneran loh ya, awas aja kalo sampe aku jatuh."

"Iya iya. Lagian kalo jatuh juga pasti kita jatuhnya barengan." Iseng Abimana.

Abimana mulai mengayuh sepedanya. Perempuan itu berpegangan erat di bagian stem nya. Matanya terpejam, posisi kakinya kaku di bawah sana.

"Hahah santai ajaa. Coba kakinya kedepan biar nggak kaku gitu."

"Kamunya susah nggak nanti kayuhnya?"

"Ya enggak dongg."

Setelah terbiasa, tubuh perempuan itu semakin rileks duduk disana. Senyumnya mulai terbuka, dia bahkan sudah berani melepas satu tangannya. Satu tangannya yang lain ia lambaikan di atas udara.

"Yuhuuuu seru bangettt.."

Sepeda itu melaju cepat di jalanan curam. Laki-laki itu melepas kedua tangannya, ikut merentangkan tangan itu ke udara. Saat sebuah mobil berpapasan dengan mereka, dengan sigap telapak tangan Abimana menutupi wajahnya.

Mereka berhenti di sebuah danau di ujung komplek perumahan. Walaupun masih pagi, tempat itu cukup ramai oleh orang-orang yang berkunjung kesana.

"Dah sampe, turun cil." Perempuan itu turun, dan langsung lari meninggalkan Abimana di parkiran sepedanya.

Dia berlari, berputar, sambil merentangkan tangannya. Di belakang sana Abimana hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.

"Jangan lari larii nanti jatuhh!" Teriak Abimana memperingati.

"Cepet sini mas, kamu jalannya lama banget!" Balas perempuan itu dengan teriakannya juga.

Keduanya berjalan di atas jembatan kayu, perempuan itu tersenyum, merentangkan kedua tangannya, menghirup dalam-dalam udara sejuk di pagi hari. Tanpa sepengetahuan Gianna, Abimana memotretnya dari belakang.

Laki-laki itu berjalan mendekati Gianna. "Jebur sana, belum mandi kan lo?" Ucapnya.

"Ya nggak mandi di danau juga dong bapak Abim.." balasnya dengan mulut yang cemberut.

Setelah lama berjalan-jalan di area tersebut, mereka akhirnya memutuskan untuk duduk di rerumputan untuk beristirahat. Gianna mengeluarkan ponselnya, memotret angsa yang sedang berenang di danau itu. Anak kecil berlarian di hadapannya. Dan tiba-tiba saja dia mendekat ke arahnya.

"Hai cantik." Sapa Gianna pada anak itu.

Anak perempuan itu memberi setangkai bunga untuknya. Bunga liar yang ia petiknya tadi.

"Thank you, namanya siapa cantik?" Tanya Gianna.

"Flora," jawab anak itu dengan suara pelannya.

"Woww pretty like a flowers," puji Gianna.

"Terima kasih." Anak itu lantas berlari meninggalkan keduanya disana.

Obrolan mereka tidak lepas dari pandangan Abimana. Selama itu juga dia terus tersenyum melihat pemandangan hangat tersebut. Bahkan saat anak perempuan itu pergi pun, Abimana masih memerhatikan wajah Gianna di dekatnya.

"Ngeliatin mulu, naksir loh kamu." Ledek Gianna.

"Kan emang udah," jawab laki-laki itu enteng. Dia langsung mengalihkan pandangannya dari Gianna.

Abimana membiarkan perempuan itu bermain sendirian disana. Kadang bersama anak kecil saling mengejar, memotret bunga, dan pemandangan sekitarnya.

"Huh huh." Nafasnya memburu, keringatnya bercucuran, perempuan itu langsung tergeletak begitu saja di samping Abimana.

"Capek kan, makanya jangan lari-larian," ucap Abimana sembari mengusap puncak kepalanya, serta merapikan helaian rambut yang menutupi wajah manis itu.

"Tiduran sini deh." Gianna menepuk rumput di samping tubuhnya. Sementara perempuan itu tidur terlentang, posisi Abimana tengkurap di sebelahnya. Dia mengambil bunga yang sedang dimainkan oleh Gianna, memasangkannya di belakang daun telinganya.

"Cantik," pujinya. Singkat, padat, jelas, dan sukses membuat pipinya merona merah.

Gianna langsung beranjak duduk dan mengajak laki-laki itu pulang dari tempat tersebut. Dia langsung melangkahkan kaki ke parkiran sepeda, meninggalkan Abimana berjalan sendirian di belakangnya.

Bukan karena perempuan itu kesal, ia hanya merasa aneh kepada dirinya sendiri. Degup jantungnya berdebar kencang, pipinya hangat, Gianna juga tidak mampu menahan senyumnya akibat perlakuan laki-laki itu.

Gila, pikirnya.

Destiny (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang