Jiwoong kembali ke jalan. Entah bagaimana.
Dia hanya membuka mata dan tiba-tiba itu bukan lagi penjara bawah tanah.
Semua orang tampak tinggi, atau mungkin dirinya yang mengecil?
Jiwoong menatap tangannya sendiri.
Itu bukan tangan pria dewasa.
Lihat juga kakinya, pendek dan kecil.
Jadi Jiwoong benar-benar mengecil?
Mungkin dirinya kembali ke masa lalu?
Oh, benar. Ini memang masa lalunya, setidaknya semua yang bisa Jiwoong ingat.
Dia ingat gubuk kecil tempatnya dan sang ayah tinggal.
Dia ingat mengekor di belakang sang ayah bekerja sepanjang hari.
Dia ingat bagaimana harus menahan lapar karena mereka terlalu miskin.
Dia ingat semua cacian orang tentang dirinya dan ayahnya.
Tentang ayahnya yang tidak pernah menikah namun memiliki anak.
Tentang cerita ayahnya kalau Jiwoong ditemukan di hutan tepat setelah sang ayah melihat sesuatu yang terbakar jatuh dari langit.
Jiwoong pikir itu hanya dongeng buatan sang ayah.
Seperti scene dalam film yang berganti secepat kilat, Jiwoong tiba-tiba saja dilempar kembali pada masa terburuk dalam hidupnya.
Melihat ayahnya sekarat karena sakit dan mereka terlalu miskin untuk membeli obat.
"Jiwoong-ah..uhuk! Maafkan Appa... Appa mungkin tidak bisa menemani Jiwoong lebih lama lagi..."
Jiwoong hanya bisa menggeleng kuat, tidak ingin ditinggalkan namun tidak mampu memberi pertolongan.
Saat itu dirinya hanya remaja usia belasan tanpa sepeserpun uang.
Dengan berderai airmata Jiwoong memohon pada ayahnya untuk bertahan.
"Appa...hiks...jangan tinggalkan aku..."
Tangan sang ayah dalam genggaman terasa semakin dingin.
Berbaring di atas sehelai tikar tipis pada lantai kayu berderit yang tak memiliki pemanas sama sekali tak membantu.
Jiwoong tidak pernah berdoa, namun malam itu hatinya menjerit agar penguasa bumi dan alam semesta tak merebut sang ayah dari sisinya.
Dadanya panas seperti sesuatu terbakar dari dalam tubuhnya.
Jiwoong tidak ingat apapun lagi dari malam itu.
Namun esok hari, ketika fajar terbit, Jiwoong menemukan sang ayah jauh lebih baik.
Rona wajah yang cerah, batuk yang habis tak bersisa, senyum bahagia.
Bagaimana ayahnya berubah dalam semalam?
Jiwoong penasaran namun tidak harus mendapat jawaban, hanya melihat ayahnya kembali berdiri tegap sudah lebih dari cukup.
Namun di hari yang sama, mereka juga berpisah.
Orang-orang dari kerajaan datang dan memaksa Jiwoong ikut dengan mereka, meninggalkan sang ayah.
Jiwoong meronta, menangis, berteriak seperti kesetanan.
Kemudian ayahnya memeluknya.
Sambil menangis dia bilang, "Jangan khawatirkan Appa, berkat Jiwoong sekarang Appa bisa hidup lebih baik dan pangeran membutuhkanmu. Jalankan tugasmu dengan baik, lalu kembalilah kemari. Appa janji akan menunggu Jiwoong."
Jiwoong tetap menolak pergi. Sekuat tenaga dia memanggil sang ayah.
Saat itu juga Jiwoong kembali ke sel.
Suaranya masih terdengar bergema di kejauhan.
Napasnya terengah.
Keringat turun dari pelipis.
Penjara begitu sunyi hingga suara air menetes bisa terdengar nyaring.
Jiwoong memindai sekitarnya, tersadar kalau dia hanya bermimpi panjang.
Tiba-tiba derap langkah kaki terdengar.
Kemudian sosok Gunwook muncul.
Pemuda yang tangguh itu menangis.
"Hyung..."
Suaranya bergetar.
Dia jatuh berlutut di depan sel penjara menatap Jiwoong dengan mata basah.
"Hyung...Yujin sudah pergi..."
Jiwoong harap itu juga mimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
CUTS - Jiwoong Centric ✅
FanfictionKarena sering dapet ide cerita tapi jarang bisa merealisasikannya dari awal sampai tuntas maka lahirlah buku ini. Sesuai judul isinya bisa jadi cuma potongan cerita, bukan complete story. Kalau minat dan semangat muncul baru kubuat full story-nya...