***
Memasuki mansion megah yang menjadi tempat tinggal Maura sejak beberapa tahun yang lalu, baru kali ini ia merasa begitu takut.
Langkah kaki yang teramat pelan terus berjalan, seakan Maura benar-benar takut jika harus bertemu dengan pamannya hari ini.
"Dari mana?"
Maura menahan nafas, ia berbalik dengan kaku menghadap pamannya yang menampilkan wajah santai.
"Saya dari rumah Azlan." Jawab Maura.
Hendra terlihat berbinar, "bag-"
"Saya sudah membatalkan rencana tunangan."
Lengkungan senyum Hendra memudar, tergantikan mata yang melotot geram. "KAMU BICARA APA?!"
Maura terperanjat kaget, lagi-lagi perasaan takut menghinggapinya.
Gadis itu mengepalkan tangan hingga kuku-kuku tangannya memerah.
"Saya nggak mau terus jadi pion anda, saya juga nggak mau berlama-lama nipu orang, saya capek hidup kayak gini, saya-"
Plak
Satu tamparan telak mengenai pipi kiri Maura membuatnya terhuyung kebelakang. Mata gadis itu berkaca-kaca, padahal orang tuanya dulu begitu menjaganya, Maura terluka sedikit saja orang tuanya begitu khawatir. Kenapa dengan lancangnya saudara ibunya ini bermain tangan? Kenapa tidak ada ragu-ragunya ia bermain fisik?
Ia merasakan pipinya yang memanas sekaligus perih. Maura memegang pipi kirinya sembari mengangkat pandangan, air matanya luruh menatap Hendra yang tidak menunjukkan raut iba.
"KELUAR!! PERGI KERUMAH AZLAN DAN TARIK KEMBALI KEPUTUSAN KAMU!!" Perintah Hendra tak ingin dibantah.
"Untuk apa?..." lirih Maura.
"KAMU MAU BIKIN SAYA RUGI, HAH?! KALAU PERTUNANGAN KALIAN DIBATALKAN SAYA-"
"SAYA NGGAK MAU!!!!"
Nyalang mata Maura tanpa takut menatap Hendra dengan pandangan menghunus.
"Anda mau saya jadi boneka bodoh yang ngikutin kemauan anda terus? Kapan saya bisa hidup dengan kemauan saya sendiri?!"
Hendra tertawa hambar. "Kamu mau bahagia? Ya sudah, kamu tinggal ngikutin kemauan saya. Kalau kita berhasil, kita bisa kaya raya... Kita bakal hidup mewah."
Kini giliran Maura yang menertawakan perkataan Hendra.
"Uang tidak menjamin kebahagiaan. Banyak orang kaya di dunia ini tapi sebagian dari mereka tetap bunuh diri." Balas Maura telak.
Emosi Hendra meradang. Ia membanting vas bunga yang berada di samping kirinya, membuat pecahan kaca berserakan di mana-mana.
Maura menggigil ketakutan, terlebih ketika Hendra memungut salah satu pecahan kaca sembari menatapnya nyalang.
"Om? Om mau ngapain?"
Melihat lebih dalam netra Hendra yang kosong semakin menakutkan saja.
Maura berniat lari, namun pamannya lebih cekatan. Maura meronta-ronta, rasa takut dan trauma membuatnya kesulitan bernafas.
"Kamu mau berhenti?" tanya Hendra santai.
Sratt
"Arrrggghhh..." Maura mengerang keras, sedetik setelah Hendra melesatkan aksi bejatnya. Pecahan kaca yang tadi dipegangnya ia goreskan di pergelangan tangan gadis itu tanpa perasaan.
"Mau lagi?"
Maura menggeleng keras, ia terduduk dilantai dingin menangisi nasibnya. Sesekali meringis ketika cucuran darah tak berhentinya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Surat Takdir Dari Tuhan
Novela Juvenil[TAHAP REVISI] Setelah merasa bebas karena berhenti mondok dan melanjutkan pendidikan di bangku MA, Azlan pikir hidupnya akan seperti cerita-cerita kebanyakan, mewah dan tak tertekan. Tetapi justru, semakin tersiksa saja! Tentang saudara yang mampu...